Selasa, 27 April 2010

Kecerdasan dan Kesuksesan

“Saudara-saudara, sebagai tamu istimewa malam ini, kita panggil Christoper Langan”. Demikian Bob Saget, pembaca acara mashur membuka kuis One versus One Hundred, di salah satu stasiun TV Amerika, tahun 2008. Kuis ini sangat digemari di Amerika, karena secara sangat ketat mempertandingkan seseorang yang dinilai sangat-sangat cerdas melawan seratus orang yang mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. “Gerombolan” seratus orang tadi disebut mob. Pertandingannya adalah, Bob Saget, sebagai pembawa acara, memberikan sebanyak mungkin pertanyaan dan secara berebut dijawab oleh “sang sangat cerdas” atau mob, siapa yang lebih dahulu. Mereka memperebutkan hadiah US$ 1 juta, atau hampir Rp 10 milyar. Chris Langan mempunyai IQ = 195, atau hampir dua kali dibanding rata-rata orang normal yang biasanya hanya mempunyai 100-110. Chris bahkan mengungguli Einstein, yang “hanya” ber IQ = 150. Akhirnya Chris memang memenangi pertandingan ini dengan membawa uang “hanya” US$ 250 ribu atau hampir Rp 2,5 milyar.


Cerita tentang Chris Langan memang tidak sampai disitu. Chris ternyata seorang dengan IQ sangat-sangat tinggi, yang jauh dari kesuksesan. Chris tidak mempunyai gelar apapun, tidak mempunyai profesi tetap dan bahkan tidak mendekati suatu predikat kesuksesan seperti yang dimiliki Einstein, atau bapak bisnis komputer dunia Bill Gates (Microsoft) atau Bill Joy (Sun Microsystem). Chris hanya menjadi “manusia biasa” dengan penampilan yang serba tanggung.



“Kesialan” Chris sebagai orang yang sangat berbakat berbeda dengan perjalanan seorang tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, Haji Agus Salim. Meskipun IQ nya belum pernah diukur, Pa’ce, demikian anak-cucunya biasa memanggil dengan akrab, juga mempunyai bakat yang sangat-sangat luar biasa. Kalau Chris mempunyai bakat yang tinggi dalam kecerdasan matematik, dan logika, Haji Agus Salim mempunyai kehebatan kecerdasan Linguistik. Mashudul Haq, begitu nama kecil Haji Agus Salim yang lahir di Kota Gadang, Sumatera Barat, menguasai paling tidak tujuh bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab dan Turki, dan beberapa bahasa daerah. Lebih hebat lagi, dia belajar tanpa guru, otodidak. Konon, begitu Pa’ce mendengar orang berbahasa asing atau daerah yang belum dikuasai, dan Pa’ce ingin menguasainya, maka dalam waktu yang relatif singkat, Pa’ce sudah bisa mengerti apa yang diucapkan orang tersebut. Haji Agus Salim bisa bicara dalam bahasa asing, seperti native speaker, tanpa meninggalkan kesan bahwa bahasa tersebut bukan bahasa ibunya. Selain kecerdasan Lingusitik, Pa’ce juga dikarunia kecerdasan Inter dan Intra-personal. Hanya saja, berbeda dengan Chris, Haji Agus Salim akhirnya sukses. Namanya digunakan sebagai nama jalan dibanyak kota besar di Indonesia dan menjadi menteri luar negeri yang dikenal sebagai jago diplomasi dikalangan diplomat internasional. Sekali lagi, tanpa pernah belajar secara resmi dan mempunyai guru untuk itu. Bakat yang hebat membawa kepada kesuksesan.



Ada satu lagi nama yang mewakili generasi kini Indonesia, yang pantas disebut disini karena bakatnya yang luar biasa. Dia adalah Ahmad Dhani. Dhani, pentolan grup Dewa 19, mempunyai kecerdasan musikal yang luar biasa. Dia terkenal sebagai seorang pencipta lagu, pengorbit bintang baru dan pemusik handal. Usianya masih sangat muda, 37 tahun, tapi selebritis yang penuh percaya diri dan bertangan dingin tersebut, sangat kaya raya dan disegani dunia permusikan Indonesia. Konon, ketika dia merayakan ulang tahun yang ke 35, lima duta besar negara asing hadir dalam pesta tersebut. Majalah gosip memberitakan bahwa Dhani baru saja membeli sebuah mobil Jeep Hummer, seharga Rp 8 milyar, khusus untuk ketiga anak laki-lakinya. Dhani memang tidak mempunyai pendidikan khusus secara formal, baik musik maupun umum, juga dia tidak pernah mengumumkan berapa IQ nya, tetapi bakat musikal plus kecerdasan intrapersonalnya membawa dia ke gerbang kesuksesan.



Lantas, faktor apa yang bisa membawa orang menuju kesuksesan? Chris Langan gagal meskipun dia mempunyai IQ yang luar biasa. Sementara, Haji Agus Salim dan Ahmad Dhani, yang tidak diketahui nilai IQ nya, melejit sampai puncak kesuksesan karena kecerdasan-kecerdasan luar biasa yang dimilikinya. Menurut Gardner (1990), kecerdasan atau bakat ternyata bisa bermacam-macam. Paling tidak, Gardner mencatat 9 kecerdasan yang bisa diidentifikasi, diantaranya adalah kecerdasan Logika-Matematika, Linguistik dan Musikal. Alat pengukur IQ hanya mencatat sebagian kecil dari kecerdasan-kecerdasan versi Gardner. Kecerdasan yang dimiliki Chris Langan ternyata berbeda dengan kecerdasan Haji Agus Salim dan Ahmad Dhani. Mereka sama-sama sangat cerdas, hanya dalam bidang yang berbeda-beda. Oleh karenanya, jangan anda kecil hati kalau putera atau puteri atau anak buah anda mempunyai IQ dibawah rata-rata, karena sangat mungkin dia mempunyai kecerdasan lain yang tidak mampu diidentifikasi oleh alat ukur IQ. Penerimaan pekerja dengan mengandalkan nilai IQ atau test Potensi Akademik bisa jadi menyesatkan.



Masalahnya adalah, apakah seseorang yang, katakanlah, memiliki kecerdasan yang tinggi dapat dipastikan meraih kesuksesan? Kisah Chris Langan menerangkan sebaliknya. Psikolog yang lagi in saat ini, Fred Luthans (2010), membawa teori tentang apa yang disebut sebagai Psychological Capital, yang terdiri dari hope, efficacy (kemampuan seseorang untuk menimbulkan suatu efek), resiliensy (tahan banting), dan optimism yang dianggap sebagai kunci kesuksesan. Sementara psikolog terkenal lainnya, Daniel Goleman (1995) mengistilahkan faktor kunci kesuksesan dengan istilah kecerdasan-emosional, atau EQ yang terdiri dari knowing and managing your emotions (pahami dan kelola emosi anda), motivating yourself (tumbuhkan motivasi diri) recognizing and understanding other people's emotions, (kenali dan pahami emosi sesama) dan managing relationships (kelola hubungan baik).



Seorang penulis tenar yang bukan psikolog, Gladwell (2008) mengatakan bahwa bakat atau kecerdasan bukan merupakan kata kunci kesuksesan. Masyarakat dianggap terlalu mendewakan kecerdasan dan mengabaikan faktor-faktor lain yang justru mengangkat orang untuk suatu hal yang disebut sukses. Suatu anggapan yang sering justru menuju ke kegagalan. Masih menurut Gladwell, faktor-faktor kesuksesan selain bakat yaitu kegigihan, kerja keras dan “siap menerima keberuntungan”. Yang terakhir ini memang kelihatan tidak ilmiah, dan berbau mistis. Tapi nampaknya Gladwell serius dan mencoba membuktikan melalui percobaan-percobaan empiris bahwa hal-hal yang semula dianggap nothing seperti siap untuk beruntung (dan bukan hanya : beruntung) justru membalikkan makna kecerdasan yang semula dianggap paling menentukan. Tanggal lahir merupakan salah satu faktor yang dicatat Gladwell ikut mempengaruhi keberuntungan, sementara asal-usul seseorang (jawa : bobot, bibit dan bebet) adalah faktor lainnya. Sebagai contoh, Chris Langan kebetulan dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan berantakan (ibunya mempunyai 4 suami), sehingga penelitian Gladwell mengatakan bahwa kegagalan Chris merupakan buah dari ketidak beruntungannya. Adik tiri Chris, Jeff Langan, yang menyadari kehebatan kakaknya, mrinani (menyesalkan dan mengasihani) nasib Chris, mengatakan bahwa seandainya Chris lahir dari keluarga kaya dan harmonis, dia akan mampu menyabet 2 atau 3 gelar PhD, atau menjadi raja bisnis yang kaya raya yang terkenal di dunia. Sedikit keluar konteks, saya ingin mengartikan istilah “keberuntungan” dari sisi yang berbeda dan samar-samar teringat akan petuah pujangga besar Jawa dari Kasunanan Surakarta, Ronggowarsito (1802-1873), yang disyairkan dalam Serat Kalatid :



Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada



Note :

1. Kisah-kisah tersebut diatas diambil dari pelbagai sumber

2. Dr Howard Gardner adalah guru besar di Harvard University dalam bidang Psikologi Pendidikan

3. Prof Dr Fred Luthans pernah menjadi guru besar Psikologi dan Leadership di US Military Academy, West Point

4. Malcolm Gladwell adalah penulis terkenal dari New York Times



Trust, Speed And Cost

Ada teka-teki, yang saya yakin anda pasti bisa menjawabnya. Tentang seorang pengusaha pribumi, sukses dari bawah, senior, nyentrik, sangat informal, selalu melecehkan teori managemen, dan bergerak dibidang eceran bahan makanan dan makanan. Anda benar, dia adalah Bob Sadino atau lebih akrab dipanggil om Bob. Banyak cerita unik, lucu dan orisinal yang sering didengar tentang om Bob, termasuk kisah ketika dia diusir petugas protokol DPR, karena memakai celana pendek dan sandal jepit, padahal dia sedang dipanggil DPR untuk acara resmi dengar-pendapat. Itulah om Bob, yang anehnya sangat disegani oleh anak buahnya karena sederhana, lugas dan jujur.


Satu cerita tentang keberhasilan om Bob pada waktu mendirikan perusahaannya yang pertama, menarik untuk disimak. Sepulangnya dari Belanda, karena malas untuk menjadi pekerja seumur hidup di negeri orang, om Bob menjual 1 dari 2 mobil mercedes tuanya, untuk dijadikan modal usaha. Seorang teman karib menasehatinya untuk berniaga telur ayam negeri. Pada waktu itu, sekitar tahun 1967, Jakarta hanya mengenal telur ayam kampung, yang meskipun lebih gurih, tetapi mempunyai keterbatasan jumlah produksi. Om Bob mulai dengan 50 ekor ayam negeri dan memeliharanya dengan berbekal cerita sang teman. Ternyata usahanya diminati masyarakat ekspatriat yang baru mulai berdatangan ke Jakarta. Bob Sadino kemudian memperluas dagangannya dengan juga menjual daging ayam potong, dengan sistem door to door service. Begitulah dia merintis bisnisnya, sedikit demi sedikit, berkembang terus, hingga saat ini om Bob sudah memiliki PT Boga Catur Rata, yang membawahi PT Kem Foods (pabrik sosis dan daging ham), PT Kem Farms (kebun sayur) dan tentu saja PT Kem Chics (kepanjangan dari Kemang Chicken – supermarket bahan makanan dan makanan, yang menjadi kegemaran para ekspatriat), yang mempunyai ratusan pekerja. Lalu dimana istimewanya cerita om Bob ini?



Cerita yang menarik terjadi ketika om Bob baru mempunyai belasan pekerja. Mereka bekerja dalam suatu tim yang kompak, yang layaknya dimiliki oleh suatu keluarga. Om Bob menganggap bawahannya sebagai anak-anak, sedangkan mereka memanggil bosnya dengan sebutan om. Omzetnya belum tinggi, sedangkan operasi perusahaan belum rumit. Sistem akuntasi yang dipakai juga masih sederhana dan inilah uniknya, om Bob mengatakan kepada “anak-anaknya” bahwa mereka tidak mendapat gaji, tetapi boleh mengambil sendiri sejumlah uang untuk hidup secara layak. “Lihat di catatan pembukuan, berapa banyak penjualan pada bulan ini, berapa kas yang ada, dan silakan ambil sesuai dengan kepantasan anda masing-masing, sesuai dengan usaha yang telah anda keluarkan pada bulan ini, dan catat berapa yang diambil”, begitu kira-kira om Bob berbicara kepada semua anak buahnya. Anehnya, kebiasaan ini berjalan begitu saja, untuk beberapa saat, tanpa iri, tanpa ada anak buah yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dan tanpa terjadi kehilangan kas. Mereka, nyata-nyata tahu diri, dan menempatkan dirinya sesuai dengan apa yang seharusnya diperolehnya. Ada semacam self regulation yang bergulir secara alamiah, sampai tentunya kesederhanaan perusahaan sudah tidak memungkinkan lagi. Ketika ada yang bertanya kepada om Bob, apa kunci dari keberhasilan cara ini, dia menjawab singkat : “Trust”.





Cerita diatas memang aneh. Sangat aneh. Cerita seperti ini bisa terjadi di zaman kini dan lebih-lebih di Indonesia. Trust memang sesuatu hal yang sulit muncul, apalagi ketika dunia memasuki era informasi yang memaksa orang untuk memacu competitiveness semakin ketat. Celakanya, budaya yang hidup di Indonesia justru distrust. Ketika naik ke kelas 6 SD, saya diminta pak guru untuk mulai mencoba membuat tanda tangan. Sebelum mulai mencobanya, pak guru wanti-wanti memberi pesan kepada kami, “Buatlah tanda tangan yang sulit ditiru, bikinlah yang rumit dan jangan sampai terbaca orang”. Pada waktu itu, kami, murid kelas 6 SD, menganggap bahwa perintah pak guru sangat masuk akal. Kini saya baru sadar bahwa perintah yang kelihatannya make sense, ternyata mengandung konsep distrust. Suatu anggapan bahwa kita sedang dan akan selalu diancam pemalsuan tanda tangan. Padahal konon, perbankan di Amerika mensyaratkan agar tanda tangan sesorang harus mudah dibaca. Bukan agar gampang ditiru, tetapi untuk memudahkan petugas memeriksa keasliannya, dibandingkan nama lengkap. Suatu pemikiran yang tidak dilandasi oleh kecurigaan, karena adanya trust.



Ketika sambungan telepon-kabel masih menjadi primadona untuk kelengkapan perumahan di kota-kota besar di Indonesia, orang setengah mati memenuhi syarat administrasi agar line telepon bisa dipasang di rumahnya. Bahkan deposit uang harus dibayarkan, yang katanya untuk mencegah abuse yang terjadi pada pemakaian telepon. Herannya, masyarakat pengguna telepon-kabel nyaman saja dengan persyaratan ini. Orang menganggap bahwa semua tetek-bengek itu merupakan suatu hal yang biasa. Padahal, semua persyaratan tadi adalah manifestasi dari ketidak-percayaan yang tumbuh subur di masyarakat. Menurut cerita teman-teman yang pernah tinggal di negara maju, pemasangan telepon-kabel di rumah segera dilakukan, begitu kita menutup telepon untuk meminta sambungan ke kantor telepon terdekat, tanpa kewajiban menyerahkan dokumen dan pembayaran awal apapun. Begitu juga yang terjadi dengan permintaan pemasangan listrik dan pelayanan publik lainnya di Indonesia, yang selalu dipenuhi dengan aroma distrust. Orang selalu dicurigai, sampai kemudian dalam jangka panjang, terbukti bisa dipercaya. Suatu adegium yang berbeda 180 derajat dengan prinsip presumption of innocence, yang menyatakan bahwa setiap orang layak dipercaya, sampai kemudian terbukti dia tidak bisa dipercaya.



Lantas apa keuntungan yang didapat dengan adanya trust? Stephen M. R. Covey, putera pendekar Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa trust selalu meningkatkan kecepatan (speed) dan menurunkan ongkos (cost). Dengan adanya trust, maka speed akan berlipat dan cost akan turun drastis. Banyak contoh dikemukakan Covey Jr., tentang formula diatas. Salah satunya adalah aturan yang keluar setelah terjadi malapetaka 9/11, tentang waktu kedatangan ke airport bila hendak bepergian dengan pesawat, yaitu menjadi 2-3 jam sebelum pesawat berangkat untuk penerbangan internasional atau 1-1/2 jam untuk domestik, plus adanya tambahan security tax. Urutannya adalah, 9/11 mengakibatkan trust menurun, dan kondisi ini jelas menurunkan speed dan menaikkan cost. Covey memang benar, dan kalau rumus ini diterapkan pada cerita-cerita diatas, maka om Bob menerapkan trust yang mempercepat dan mempermurah sistem, sementara pemasangan telepon-kabel dan lamanya pemeriksaan security di bandara justru memperlambat dan mempermahal proses.



Rasa trust yang menguntungkan ini, berlaku pula untuk interaksi kita dalam level personal dengan isteri dan anak-anak, masyarakat dengan tetangga dan komunitas, perusahaan antara atasan dan bawahan. Trust melahirkan produktivitas, dan distrust melahirkan kontra produktif. Hal mustahil hubungan suami-isteri akan terjalin harmonis, bila mereka dipenuhi rasa saling tidak percaya, curiga dan selalu pasang kuda-kuda. Suatu organisasi survive atau bahkan menjadi great bila ada trust diantara para anggota organisasi. Tidak perlu banyak bicara tentang teori managemen dan produktivitas dalam suatu perusahaan bila distrust masih melekat disana-sini. Distrust akan melahirkan organisasi yang high cost dan unproductive. Gonjang-ganjing karena cecak-buaya, bank Century, atau markus juga disebabkan karena saling tidak percaya yang menumpuk tinggi di masyarakat. Tetapi bagaimana trust bisa terjalin? Masih menurut Covey Jr, bahwa trust merupakan perpaduan antara (good) character dan competency. Seorang akuntan yang jujur (berkarakter) dan handal (kompeten), tidak akan dipercaya untuk menjadi engineer karena disana dia kehilangan keahlian yang dibutuhkan. Trust (mempercayai) selalu berkaitan dengan trustworthy (dapat dipercaya). Ia merupakan hubungan timbal balik, dan tidak bisa berdiri sendiri. Kalau anda ingin dipercaya maka anda harus bisa dipercaya.





Transcendent values like trust and integrity literally translate into revenue, profit and prosperity (Patricia Aburdene – Megatrend 2010)





Thomas Merton adalah seorang penulis spiritual Amerika yang banyak membuat esai dan puisi tentang Tuhan dan kehidupan. Dia juga seorang guru besar di St Bonaventura University Amerika. (1915-1968)





Arisan Kampung, Tukang Bajay, dan Roseto-Pennsylvania

Saya ikut arisan bapak-bapak di kampung saya, Pondok Betung, Tangerang Selatan. Rumah saya memang berlokasi disuatu kampung yang dihuni mayoritas kaum Betawi. Saat ini, pendatang sudah mulai banyak disana-sini, yang umumnya berasal dari Jawa, Sumatera-Barat, Sumatera-Utara dan Indonesia-Timur, meskipun etnis Betawi masih tetap dominan. Tingkat ekonomi masyarakat, umumnya menengah kebawah. Pendidikan formalnya juga kebanyakan rendah, sehingga tidak heran kalau kadang terjadi benturan antara pendatang dan penduduk asli. Kegiatan arisan adalah sarana untuk mengurang konflik antar tetangga plus mempererat silaturakhmi antar warga. Arisan diadakan setiap bulan, dengan iuran hanya Rp 15,000 per peserta. Jumlah peserta sekitar 30, sehingga mereka yang beruntung narik-arisan, membawa uang Rp 300,000 setelah dikurangi biaya konsumsi.

Demografi anggota-anggota arisan sangat beragam. Ada yang berasal dari Jawa, Minang, Batak, Flores dan juga Betawi. Profesinya beraneka-warna dari beberapa profesional yang berkantor di segitiga emas Thamrin-Sudirman, guru, sampai kuli bangunan, tukang batu, tukang ojeg, tukang jahit, tukang roti, dan tukang bajay. Meskipun kami berasal dari pelbagai strata sosial, etnis, dan agama yang sangat beragam, tetapi tidak setitikpun kami mengalami kesulitan dalam bergaul. Kami bercanda lepas, ledek-meledek dengan bebas, dan sering berdebat suatu topik "tingkat tinggi" yang kadang tak jelas juntrungan nya. Para anggota kadang serius membicarakan masalah got mampet, jalan berlubang, tukang gantol listrik PLN, sampah bau, comberan, demam berdarah, sampai dengan enteng ngurusi politik nasional maupun internasional seperti Presiden Obama, perang Palestina-Israel, bahkan bahaya bom nuklir. Gayeng, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan pertemuan 2-3 jam tiap bulan di salah satu rumah anggota, yang kadang harus nongkrong diatas got yang ditutup selembar tripleks, karena rumah kontrakannya nggak cukup untuk dikangkangi para peserta arisan.


Ada beberapa kebiasaan bagus yang terus kami pelihara, diantaranya adalah berdoa sebelum dan sesudah pertemuan. Hebatnya, doa dipimpin oleh mereka yang sering kami juluki Kyai atau Pendeta, secara bergantian. Kalau awal pertemuan dibuka dengan doa oleh pak Haji Nasum, maka acara ditutup doa oleh pak Franky Sihombing, jemaat HKBP yang guru Bahasa Inggris di suatu SMP Negeri. Begitu bergantian secara saksama, tanpa ada yang pernah mengatur dengan sengaja. Dan hebatnya, seluruh hadirin ikut mengamini ketika doa ditutup, tanpa melihat agama dari pemimpin doanya. Apabila ada anggota yang sakit, anggota lain ramai-ramai berkunjung sambil membawa buah-tangan sebagai tanda simpati. Khusus untuk arisan yang dekat dengan hari raya keagamaan, acara diadakan sambil Halal bi Halal atau Natalan. Beberapa tahun yang lalu, ketika Lebaran dan Natal tiba pada hari-hari yang berdekatan, maka Halal bi Halal dan Natalan pun diadakan pada malam yang sama. Pak Haji Nazir dari Minang memberikan tausiah dan mas Paulus Purnomo dari Sragen menutup dengan doa ucapan terima kasih. Sedikit perbedaan yang terjadi adalah dalam melafalkan nama Allah. Haji Nazir lebih berat mengucapkannya dibanding mas Pur. Tetapi kami yakin bahwa yang dimaksud adalah Allah yang sama dan satu. Semuanya berjalan lancar tanpa ada yang mempertanyakan, sampai sekarang.


Salah satu anggota arisan yang aktif adalah pak Kuat, dari Wonogiri. Profesi resminya tukang bajay, tetapi dia mempunyai banyak sambilan yang dioperasikan bersama-sama mbak Mul isterinya. Diantaranya adalah buka warung kelontong dan salon kecantikan, Oche. Rumahnya tidak luas, bertingkat dua dan ditata dengan apik. Warung Kuat dan salon Oche sangat laris karena dilayani dengan ramah dan tentu saja murah. Nama Oche, diambil dari anaknya yang sulung, yang sedang kuliah semester 6, jurusan IT, di sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan, sedangkan si bungsu, Mario, mahasiswa Fakultas Hukum di universitas lainnya. Si sulung berangkat kuliah naik kendaraan umum sambil tentu saja menenteng laptop, sedangkan Mario mengendarai motor Yamaha yang mengkilat. Mereka hidup bahagia, meskipun dijalani dengan sederhana sambil tetap kerja keras. Beberapa kali, pak Kuat istirahat malam hari, di pos ronda, saya terkadang nimbrung menemani. Dari situ saya tahu bahwa pak Kuat tidak lulus SD dan datang ke Jakarta ketika baru berumur 15 tahun, ikut pakliknya di Kebayoran Lama. Pak Kuat merangkak dari bawah, mulai dari kuli angkut pasar, kuli bangunan, tukang batu, makelar bis, sampai akhirnya bisa beli bajay dan mendapat jodoh mbak Mul yang sama-sama dari Wonogiri. Kedua anaknya memang dinamai lebih modern, katimbang nama asli bapak dan ibunya, dengan harapan si anak bisa lebih PD, bahkan mereka memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan papi-mami. Mungkin mendapat inspirasi dari anak-anaknya Anang-KD yang memanggil bapak-ibunya dengan sebutan pipi-mimi. Di mata saya, keluarga Kuat adalah idealisasi keluarga Indonesia, atau Jawa khususnya, yang berhasil memenangkan pertarungan hidup yang sangat keras, hidup rukun, sehat, damai dan bahagia. Cita-citanya jelas, perjalanan hidupnya sangat terjal dan dilakoni dengan penuh passion. Keluarga Kuat memang sangat jauh dari bergelimangan harta, tetapi mereka menjadi contoh bagi siapa saja, bagaimana hidup harus dijalani.


Menghayati lakon pak Kuat dan kebiasaan arisan di kampung saya, teringat suatu cerita tentang suatu kota kecil di daerah Pennsylvania, Amerika. Namanya Roseto. Nama yang sama juga dimiliki oleh sebuah kota kecil di Italia, Roseto Valfortore. Roseto-Italia, berada 100 mil sebelah tenggara Roma, di kaki pegunungan Apennine, provinsi Foggia. Memang benar, penduduk Roseto-Amerika merupakan imigran Italia, yang dipelopori oleh hanya 11 paesani (penduduk) Roseto Valfortore pada tahun 1882. Semula mereka terdampar di kota Bangor, Pennsylvania, sebelum berhasil membangun perumahan disisi pegunungan batu yang hanya bisa dicapai oleh kereta kuda, karena jalanan yang curam dan mengerikan. Pendek cerita, setelah segelintir paesani Valfortore mulai menampakkan tanda-tanda kesuksesan, berbondong-bondong bangsa Italia, ex Roseto-Italia hijrah ke Pennsylvania, dan menamakan kota barunya dengan nama yang persis sama dengan kota lamanya, Roseto. Bahasa yang dipakai hingga sekarang, tetap Italia, bahkan mereka menamai jalan-raya dengan nama pahlawan Italia, Garibaldi. Tidak hanya itu, mereka membangun gereja Katolik, yang dijadikan pusat kegiatan kaum imaigran Italia di Amerika, dan menamainya Our Lady of Mount Carmel, persis dengan gereja yang ditinggalkannya, ratusan tahun lalu.


Ada informasi yang mencengangkan tentang kesehatan warga Roseto. Statistik penyakit, termasuk jantung, sangat rendah. Dibawah umur 55 tahun, tidak ada orang yang terkena serangan jantung. Diatas 65 tahun, statistik serangan jantung hanya separuh dari angka rata-rata seluruh Amerika dan tingkat penyakit seluruh penduduk Roseto sepertiga angka keseluruhan Amerika. Seorang dokter ahli kesehatan masyarakat, Stewart Wolf, didampingi sosiolog John Bruhn tertarik melakukan penelitian atas "kehebatan" penduduk Roseto menangkal penyakit. Hal pertama yang ditembak oleh duet Wolf-Bruhn adalah pola makan mereka. Anehnya, Wolf-Bruhn menemukan kebiasaan warga Roseto untuk menyantap makanan dengan tinggi kalori dan lemak. Mereka biasa menggunakan lemak babi dan bukan minyak zaitun seperti yang dipakai untuk memasak leluhurnya di Roseto-Italia. Piza merupakan santapan utama yang diramu dari roti, garam, ditambah sosis, pepperoni, salami, ham yang dicampur telur. Sudah pasti bahwa pola makan bukan faktor yang membuat mereka sehat. Selain itu, olahraga juga bukan merupakan kebiasaan warga Roseto. Mereka lebih senang duduk-duduk dibelakang rumah, sambil ngobrol-ngidul, mengisi waktu luang dengan keluarga dan tetangga. Plus kenyataan bahwa merokok adalah kebiasaan sehari-hari dan obesitas terjadi di banyak keluarga. Faktor lain yang "mengacaukan" penelitian Wolf-Brauhn adalah catatan kepolisian tentang sangat rendahnya kasus bunuh diri, narkotika dan angka kriminalitas lainnya. Wolf-Bruhn kehabisan akal mencari sebab mengapa warga Roseto hidup sehat, kurang penyakit dan umur panjang, apalagi kemudian diketemukan bahwa leluhur mereka di Italia tidak mempunyai ciri yang sama. Sampai akhirnya Wolf-Bruhn mencatat bahwa warga Roseto mempunyai kebiasaan silaturahmi yang kental. Ngobrol dan saling kunjung sambil munjung adalah kebiasaan yang terjadi dimana-mana. Mereka membangun rumah tinggal yang besar untuk cukup ditinggali tiga generasi keluarga dan hormat kepada para pinisepuh dibiasakan sejak kecil. Mereka rajin ikut misa-harian di Our Lady of Mount Carmel yang rupa-rupanya menjadi pemersatu dan pendamai masyarakat. Etos egaliter menjadi budaya dalam komunitas yang menjadi sebab mengapa orang kaya tidak pamer dan membesarkan hati orang-orang gagal merupakan suatu ibadah.


Wolf-Bruhn mengalami kesulitan ketika harus mempresentasikan penelitiannya kekalangan dunia universitas. Teori kedokteran Amerika, pada waktu itu, belum mengakomodasi tentang faktor-faktor kejiwaan yang suportif, saling mendukung, silaturahmi, saling bantu-membantu, hidup bahagia adalah kunci dari hidup sehat, damai dan panjang umur. Sampai akhirnya disepakai pada sidang kedokteran kota bahwa hidup sehat harus dikaitkan dengan kebiasaan untuk melihat keluar dan tidak hanya berkutat pada diri sendiri seperti pola makan dan pola hidup. Persis seperti yang dapat disimak di Hadits Riwayat Bukhari bahwa silaturahmi dapat dilapangkan rezekinya, hidup sehat dan diakhirkan ajalnya (panjang umur).


Anda ingin sehat seperti warga Roseto? Hiduplah senantiasa dengan silaturahmi.



Note : Cerita tentang kota Roseto disadur dari buku Outliers, karangan Malcolm Gladwell


My Name Is Khan: Diskriminasi Ada Dimana-mana

Sungguh mati, semula saya tidak tahu bahwa mayoritas nama marga Khan di India, beragama Islam. Saya mengenal beberapa tokoh dunia dengan nama akhiran Khan, seperti Agha Khan dan Ayub Khan, tetapi tidak pernah terpikir apa agama mereka. Saya baru ngeh ketika nonton film yang sedang top box office di Jakarta, yang bercerita tentang seorang penderita Asperger Syndrome, asal Borivali, Mumbai, India, bernama Rizvan Khan. Dan dari sanalah alur cerita film ini dimulai, yaitu diskriminasi.

My Name is Khan adalah film mengenai seorang yang berperangai aneh, karena dia menderita sindroma sejenis autis dan terdiskriminasi karena agamanya. Dan diskriminasi selalu identik dengan ketidak-adilan. Dan ketidak adilan dilarang agama apapun. Rizvan yang mengikuti adiknya yang sudah sukses karena berniaga setelah hijrah ke San Francisco, pertama-tama dihadang oleh petugas satpam bandara San Francisco yang mencurigainya. Kembali karena namanya bermarga Khan. 3 jam dia diperiksa dan ditanya sana-sini hanya karena petugas imigrasi tidak yakin akan niat baiknya masuk ke Amerika. Mungkin petugas imigrasi bandara terkecoh akan keanehan sikap Khan yang memang penderita Asperger, tetapi alasan etnis dan agama nampak lebih kental mendominasinya. Singkat kata, Khan akhirnya bisa masuk ke Amerika dan bertemu adiknya. Lebih lanjut, dan disinilah cerita itu mulai kelihatan gregetnya, ketika Khan menikah dengan seorang janda cantik, juga keturunan India, yang serunya beragama Hindu. Mandira mempunyai anak menjelang remaja, yang ganteng, pintar, aktif, kritis dan banyak teman, dan karena ayah tirinya bernama Khan, dia menjadi Sameer bermarga Khan. Sameer yang semula mempunyai banyak teman bermain kemudian dimusuhi dan akhirnya dibunuh, hanya karena dia bermarga Khan, meskipun para pembunuh tahu persis bahwa Sameer beragama Hindu.


Disitulah hebatnya film ini mulai mengirimkan pesan. Diskriminasi ternyata binatang dengan banyak variabel. Karena kebencian warga Amerika yang memuncak akibat peristiwa 9-11, mereka mencederai bahkan membunuh Sameer Khan, meskipun dia tetap Hindu. Film ini dengan sangat halus dan implisit menceritakan bahwa diskriminasi bisa menjadi pisau bermata banyak. Korban diskriminatif mulai mengenai mereka yang beragama Islam, terus menjalar ke manusia bernama Khan, pemeluk Hindu, dan juga kulit berwarna lainnya. Diskriminasi membelit tanpa bisa dikontrol dan diprediksi larinya. Bahkan orang Amerika pun diceritakan dalam film itu juga terkena diskriminasi. Semua orang Amerika dicap sebagai binatang kapitalis, antek Yahudi bahkan Zionis dan di gebyah-uyah bernaluri penjajah. Diselipkan dalam film itu, adegan bagaimana menara kembar WTC diserang oleh 2 pesawat kamikaze yang mengakibatkan ribuan warga Amerika dan non-Amerika, beragama tertentu atau tidak beragama, berkulit putih atau berwarna, terpanggang kaku. Diskriminasi memang menjadi abstrak, bahkan absurb, tak jelas, tak berwadag, tak tahu lagi kemana arah moncong senjata kebencian ditembakkan. Ia bisa mengenai siapa saja yang hidup di alam ini, menghancurkan peradaban, meniadakan kemanusiaan, tanpa pola, dan tentu saja meluluh lantakkan keadilan. Itulah diskriminasi.


Meneruskan cerita tentang My Name is Khan, ia juga menggambarkan bagaimana kaum miskin di daerah Georgia, Amerika, yang mayoritas dihuni oleh kulit berwarna, terdiskriminasi oleh lajunya pembangunan Amerika dan kena getahnya dalam bentuk bencana alam. Mereka menderita karena banjir bandang dan dikesankan sangat lambat di rescue oleh pemerintah Amerika. Rizvan Khan dan Mandira Khan, suami isteri dengan identitas sangat baur digambarkan ikut menolong korban tanpa kenal lelah, tanpa pamrih. Kembali, diskriminasi tak menggambarkan dengan jelas siapa korban dan siapa pelaku. Suatu saat dan untuk kasus tertentu, seseorang bisa menjadi korban diskriminasi, sementara pada waktu yang hampir bersamaan dia bisa menjadi pelaku diskriminasi untuk kasus yang lain.


Fishbein (1996), seorang Psikolog Sosial dari Amerika, mengatakan bahwa diskriminasi lahir karena adanya stereotype dan prejudice. Discrimination involves harmful actions against others because they belong to a particular group. We often see that stereotyped beliefs and prejudiced attitudes will reveal themselves in discriminatory behavior. Stereotype sering sulit dihilangkan dari persepsi kita. Kadang, bahkan dengan data yang sangat minimal, orang dengan mudah menanamkan persepsi tentang suatu komunitas dengan cepat dan melekat. Dan ini sangat jauh dari rasional. Ketika seseorang menjadi korban penjambretan dan si penjahat, setelah tertangkap, ternyata berasal dari suku tertentu, maka dengan mudah ia mempersepsikan bahwa semua orang dengan suku itu merupakan tukang jambret. Prejudice atau prasangka-buruk menjadi menjadi sebab lain yang ikut memudahkan melahirkan diskriminasi. Ia lahir karena orang mempunyai negative premature assumption yang bahkan sudah berada dalam belakang kepalanya sebelum data apapun dia miliki.


Diskriminasi memang sangat merusak. Ia membuat korban menjadi menderita bahkan sering meminta nyawanya. Tak heran bahwa dimana-mana protes mengenai diskriminasi diteriakkan orang. Termasuk Rizvan Khan, yang harus lari-lari dari San Francisco ke Washington, untuk menemui Presiden Obama. Setelah berhasil, dari kejauhan Khan berteriak-teriak tanpa henti : "Mr President, my name is Khan, and I am not a terrorist……..My name is Khan, and I am not terrorist…..My name is …………". Jengah mendengar teriakan berulang-ulang dari Rizvan, akhirnya Obama menoleh dan memanggil Khan untuk mendekat. Dia memeluk Khan sambil mendengar derita Khan yang dijauhi isterinya, sementara anak tirinya, bernama Sameer dibunuh, karena bermarga Khan. Obama mendengar dan ikut empati dengan Razvan. Sayang dia tidak bisa menghidupkan kembali Sameer yang sudah dikubur beberapa hari yang lalu. "Mr President, my name is Khan……"


Badai Itu Datang Dengan Tiba-tiba

Saya lupa tepatnya kapan. Mungkin sekitar 20-30 tahun yang lalu. Sebuah restauran bakmi yang menggunakan nama seorang pahlawan bangsa, yang sudah menggenggam market leader bakmi di Jakarta, tertimpa musibah. Ada kabar burung yang bertiup dengan kencang dan memporak-porandakan restauran itu dalam sekejab. Muncul isu yang menyebutkan bahwa bakmi yang dijual di restauran tersebut dimasak dengan mencelupkan – masya Allah - jenazah bayi yang berumur kurang dari 1 tahun. Dikabarkan bahwa rasa gurih dan sedap yang dikandung dalam masakan bakmi disebabkan karena "saos bayi" yang meneteskan "bumbu-bumbu penyedap masakan" alami. Tidak hanya dunia perbakmian yang gonjang-ganjing, tetapi iklim sosial-politik yang kala itu dipegang erat oleh rezim yang berkuasa, juga terbawa politik perbakmian. Masyarakat resah dan ketakutan bahwa bayinya akan diculik untuk penyedap masakan bakmi, dan akibat terhadap bisnis bakmi tak dapat dihindarkan. Pertama, yang pasti adalah bahwa omzet restauran tersebut langsung melorot tajam. Restauran, yang meminjam nama jalan di depannya itu, langsung kolaps tak berdaya. Omzet turun drastis, sedangkan nama baik, reputasi dan imej turun sampai ke titik nadir. Semula, mereka memang menjadi ikon perbakmian di Jakarta dan langsung berubah menjadi ikon kebiadaban pengusaha makanan yang mencari keuntungan dengan menggunakan kejahatan kemanusiaan yang menjijikkan. Yang kedua, tidak hanya itu, bakmi cap "anu" tiba-tiba menjadi musuh masyarakat, pelaku kriminal dan harus dihukum yang setimpal.

Pemilik restauran kalang-kabut. Tidak hanya harus segera mengembalikan omzet yang ujug-ujug melorot, dia juga harus menangkis kanan-kiri berita busuk yang entah dari mana datangnya. Konferensi pres, yang kala itu belum merupakan sesuatu yang biasa, dilakukan dengan mengundang puluhan wartawan koran-koran dan majalah-majalah lokal maupun nasional. Open house digelar untuk memberi kesempatan masayarakat melihat langsung apa yang terjadi didapur mereka ketika memasak bakmi yang lezat itu. Sedangkan counter attack diluncurkan untuk membalas kompetitor yang diduga melakukan strategi pemasaran dengan cara yang sangat keji. Beruntung bahwa malapetaka itu segera pergi. Berangsur-angsur pelanggan datang dan omzet kembali ke titik mula, dan keuntungan kembali tiba. Tak disangka bahwa musibah berat tak menghalanginya untuk tetap menggenggam market leader perbakmian sampai saat ini, dengan telah membuka belasan atau bahkan puluhan gerai diseluruh antero Jakarta.


Fenomena seperti ini jamak terjadi untuk suatu brand yang sedang mencorong. Banyak contoh cerita senada yang bisa dipetik untuk menjadi pelajaran kita betapa rapuhnya suatu imej yang sudah susah-payah didapat, kalau sedetik saja kita alpa menjaganya. Sementara, imej bagi suatu unit usaha merupakan jantung dari suatu kesuksesan. Tidak hanya pengusaha lokal, bahkan perusahaan internasional juga mengalami hal itu. P&G, sebuah konglomerasi Amerika yang mendunia, beberapa puluh tahun yang lalu juga mengalami hal itu. Perusahaan yang dikenal sebagai raja penghasil barang-barang eceran, terkena musibah seperti restauran bakmi ternama di Jakarta. Salah satu produk sabun mandi yang dipasarkan juga di Indonesia dengan merek C, diisukan sebagai mempunyai lambang pemujaan setan. Sabun C yang tidak hanya wangi tapi juga bergengsi bagi orang memakainya, menggunakan wajah pria berjenggot dipermukaan bulan dengan 13 bintang sebagai pemanis dalam memasarkannya. Gambar ini didesas-desuskan sebagai lambang pemujaan setan. Konon, bila gambar itu dilihat dicermin, jenggot pria itu seperti angka 666, lambang setan yang lebih dikenal sebagai anti Christ yang harus dibasmi. Sama seperti gosip yang mencederai restauran bakmi di Jakarta, sebuah perusahaan raksasa di Amerika yang dikenal sangat mengandalkan rasio untuk bertindak, termakan isu busuk yang menghancurkannya. P&G sempat limbung, sebelum mereka menangkis berita burung yang tak diketahui ujung-pangkalnya. Mereka membuka jalur telepon cuma-cuma untuk memberi kesempatan bagi pelanggan-pelanggan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dibalik cerita pemuja setan itu. Setiap bulan P&G menerima belasan ribu incoming call untuk meminta penjelasan apa yang sedang terjadi. Tak hanya itu, detektif swasta disewa untuk menelisik darimana asal-usul cerita khayalan itu dan kampanye-putih terus digelar di pelbagai media massa. Meskipun akhirnya P&G menyerah, dengan memodifikasi gambar yang tertera di sabun C, mereka tetap mempertahankan pria berjenggot sebagai latar belakang dengan pesan bahwa akal sehat tak boleh menyerah pada isapan jempol semacam itu.


Imej bagi dunia usaha memang segalanya, tetapi bak kata pepatah, semakin tinggi pohon kelapa, semakin banyak ia ditiup angin. Selain imej, anda dapat diserang tiba-tiba oleh sebab-sebab lain yang kadang-kadang atau sering hanyalah hal-hal sepele belaka. Kemajuan teknologi adalah salah satu hal yang bisa tiba-tiba memporak porandakan hidup kita. Prita pasti tidak pernah menyangka bahwa tulisan curhat di email kepada segelintir teman dekatnya bisa membawa dia ke ranah hukum yang memusingkan. Dia harus mendekam beberapa minggu di sel prodeo sebelum harus wara-wiri bersidang di pengadilan Tangerang. Kondisi eksternal juga berpeluang memasukkan kita pada musibah yang tak jelas juntrungannya. Beberapa perempuan pekerja di Tangerang tiba-tiba dicokok Tramtib ketika pulang kantor karena dituduh melanggar Perda yang berbau SARA.


Andrew Groove, CEO Intel Corporation, mengatakan : "We can't stop these threats. We can't hide from them. Instead, we must focus on getting ready for them, anytime. You must recognize that no amount of formal planning can anticipate such threat". Lantas, apakah kita tidak perlu membuat formal planning untuk mengatasi kasus-kasus seperti itu? Apakah kita menyerahkan diri, pasrah, untuk digempur begitu saja meskipun kita yakin bahwa kita berada pada posisi yang benar? Seperti kata Grove, sulit untuk membuat antisipasi yang rasional menghadapi serangan-serangan seperti itu, tapi restauran bakmi di pecinan Jakarta telah mampu membuktikan bahwa mengubah desas-desus yang mematikan menjadi peluang untuk menuju kepada situasi yang jauh lebih baik. Dan itulah gunanya orang waspada senantiasa.


Padamu Negeri : Jiwa Raga Kami

Sabtu siang, 6 Februari 2010, saya stranded di Bandara Achmad Yani, Semarang, setelah selesai melakukan kunjungan ke STEM- AKAMIGAS, Cepu. Pesawat ke Jakarta terlambat 25 menit yang justru memberi kesempatan untuk menikmati rasa Kopi Luwak di lounge bandara. Rasa kopi cap Luwak memang masih nyamleng seperti puluhan tahun lalu, dan disana saya ketiban-ndaru karena tiba-tiba bertemu seseorang yang selama ini sering membuat saya terheran-heran karena banyaknya inisiatif yang dia buat. Dia adalah Profesor Yohanes Surya PHd, seorang fisikawan lulusan Virginia, Amerika Serikat. Prof Yohanes duduk semeja dengan saya, meskipun ketika saya tawari minum kopi, dengan halus dia menolak. Debutnya mencetak peraih-peraih medali dan piala di ajang Olimpiade ilmu Internasional sudah sering kita dengar, tapi cerita tentang inisiatifnya yang baru, belum banyak didengar orang. Dengan persetujuan orang tua, sekolah dan pemda, dia merekrut 27 anak Papua yang prestasi akademisnya "biasa-biasa" saja untuk digembleng menjadi ilmuwan Fisika dan atau Matematika dengan program yang khusus untuk itu. Dia memberi nama Papua Centre for Education atau Program Anak Papua untuk Pendidikan. Anak-anak yang berasal dari Kabupaten Tolikara, Waropen, Sorong Selatan, Lani Jaya dan Wamena itu ternyata menunjukkan prestasi yang luar biasa. Setelah sepuluh bulan berlalu, mereka membuktikan bahwa ternyata Matematika bukan suatu pelajaran yang sulit, sangat mudah untuk dicerna dan bahkan sangat asyik. Kuncinya adalah ia harus disajikan menarik dengan ilustrasi yang kontekstual. Tidak hanya itu, mereka juga dibekali dengan pelajaran Bahasa Inggris, Komputer dan Character Building. Merlin dan Christian adalah siswa yang paling menonjol dalam kelas itu. "Saya ingin menjadi profesor matematika", ujar mereka seperti yang ditirukan Prof Yohanes kepada saya. Kami ngobrol ngalor-ngidul cerita heroik, terutama tentang Papua. Tak terasa kami sudah dipanggil untuk boarding masuk kedalam pesawat. Tetapi dia masih memberi bekal kepada saya sambil jalan menuju ke pesawat, "Pak, tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang tidak interes kepada suatu atau beberapa bidang", demikian Prof Yohanes menutup pembicaraan kami dengan kata-kata yang sedikit filosofis.

Sambil menanti pesawat take off, timbul banyak pertanyaan dibenak saya. "Darimana dia mendapat dana untuk itu semua?". "Mengapa dia tertarik melakukan charity untuk sesuatu yang secara finansial tidak mendampakkan return?". "Mengapa Papua?". "Apa motivasi terdalam di hatinya untuk melakukan itu semua?". Ada beberapa tokoh lain yang juga kesengsem Papua. Entah masyarakatnya, budayanya, alamnya dan bahkan pakaian tradisionalnya. Mereka melakukan apa saja untuk mengangkat derajat Papua. Dedikasi total, yang sering tidak bisa dihitung dengan nalar sehat manusia normal. Salah satu diantaranya adalah Dokter John Manansang. Seorang dokter umum lulusan FKUI, yang lahir dari bapak asal Cirebon dan ibu Sangihe Talaud telah melakukan tugas seorang dokter melebihi apa yang seharusnya dilakukan, di Asmat dan Timika, Papua. Dokter John, dengan dana kesehatan yang sangat minimal, fasilitas seadanya, dan kondisi geografis yang tidak kondusif, telah melakukan praktek kedokteran diluar teori kedokteran umum, seperti memahat sendi lutut dengan pahat kayu dan martil, operasi sesar dengan silet cukur, amputasi tangan dengan gergaji kayu dan praktek-praktek impossible yang terkesan menyeramkan. Dia melakukan itu semua bukan karena gagah-gagahan atau mencari uang tak halal, tapi semata-mata karena keterdesakan situasi antara keadaan pasien yang gawat dan harus segera ditolong dan keterbatasan dana, fasilitas kedokteran dan geografis Papua yang masih sangat virgin. Meskipun memberi yang terbaik buat masyarakat Papua, Dokter John justru sering disalah sikapi oleh teman-teman seprofesi dengan dalih malpraktek, melawan hukum atau mencari popularitas. Padahal, pengabdiannya tulus dan tanpa pamrih apapun, melainkan bagi pengabdian kemanusiaan semata-mata.


Pastor Johanes Jonga Pr juga merupakan tokoh non Papu yang mengabdi di tanah Papua. Baru-baru ini, Romo kelahiran Flores ini, dicatat telah memberikan hidupnya untuk dedikasinya dalam memperjuangkan hak asasi masyarakat Papua. Dia melawan segala penindasan yang dialami masyarakat Papua, baik yang berasal dari pemerintahan, perusahaan-perusahaan besar, militer atau polisi dengan sepenuh hati. Untuk itu, Romo Jonga mendapat Yap Thiam Hien Award 2009, atas jasa-jasanya. Todung Mulya Lubis, sebagai Ketua Dewan Juri Yap Thiam Hien Award, menyatakan bahwa Romo Jonga sangat layak mendapat kehormatan ini, bahkan sejak beberapa tahun yang lalu. Kami terlambat menganugerahinya, ketika dia sudah melakukan begitu banyak advokasi bagi rakyat Papua. Semua orang terhenyak dan heran. Kembali bertanya-tanya mengapa dia mau melakukan itu semua. Aksi-aksi yang sering membawa dia kedalam pertarungan head to head dengan penguasa, membawa dia untuk mempertaruhkan nyawanya setiap nafas dihirupnya. Papua, raksasa yang masih tidur, memang memerlukan pahlawan tanpa imbalan, pahlawan tanpa perhitungan yang memberikan dirinya untuk tidak mendapat apa-apa.


Cerita mengenai Papua akan saya tutup dengan kisah perjumpaan saya dengan Bupati Merauke, John Gluba Gebze, di Aula Timur ITB, 23 Januari 2010, pukul 07.30, saat sama-sama menunggu acara penganugerahan Doktor Kehormatan bagi Ir Arifin Panigoro. Saya terlibat diskusi yang asyik dengan pria berperawakan tinggi besar, berkulit gelap dan rambut ikal kecil-kecil, namun sangat ramah. Dia menceritakan liku-liku perkenalan dengan pak AP, demikian dia menyebut pak Arifin Panigoro dengan lebih akrab. Dimulai dari keprihatinan mereka berdua terhadap kelangkaan dan bahkan krisis nasional energi dan pangan. Mereka sepakat untuk memulai dengan 1 juta hektar tanah di Merauke, Papua dan menamai program itu sebagai "Merauke Integrated Food and Energy Estate" (MIFEE). MIFEE akan menjadikan Merauke sebagai Brazil kedua untuk mengikuti kesuksesan menjadikannya lumbung pangan dan sumber energi secara integrated. Mereka bersama-sama sedang membudidayakan tanaman kedelai, jagung, tebu dan sorgum, tanpa merusak alam. Saya tidak mengikuti angka-angka yang diucapkan pak John, karena kami sudah harus segera memasuki Aula Barat untuk mengikuti acara resmi. Tapi Papua selalu menarik tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia, karena ia akan menjadi masa depan kita. Masa depan bangsa Indonesia. Saya teringat penggalan orasi pak Arifin ketika menutup pidato ilmiahnya dengan mengutip seorang pujangga Jerman,



Dengan cinta setia sampai akhir hayatku


Aku bersumpah dari lubuk kalbuku


Bahwa jasadku dan apa milikku


Kupersembahkan padamu, wahai tanah airku.


Down Syndrome : Semua Manusia Istimewa

Sudah lama tak berjumpa, membuat pertemuan tak sengaja saya dengan Sunarto, Ning isterinya dan Karunia anaknya di suatu pusat perbelanjaan menjadi sangat gayeng. Narto, teman kuliah yang sudah hampir 30 tahun tak berjumpa. Sementara Ning, adik kelas kami pada waktu itu, tetap gampang ditandai sebagai bunga kampus tahun 70 an. Luput dari perhatian kami karena asyik ngobrol, Karunia sibuk mengambil foto dari segala sisi. Sampai akhirnya dia menegur dengan kalimat yang nyaris tak jelas. "Halo om, apa kabar?". Saya kaget dan baru menyadari bahwa Karunia lupa disapa. Teringat kemudian bahwa Karunia adalah penyandang Down Syndrome, Mongoloid, yang mempunyai keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Mukanya bulat, kepala kecil (macroglossia), kulit pucat, mata sipit dengan lipatan (epicanthal folds), dan hidung datar melebar. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka bertiga, Karunia memisahkan diri, untuk bisa tetap jepret sana-sini mengambil foto disekeliling kami. Narto lebih lanjut bercerita dengan bangga, bahwa Karunia sudah menjadi fotografer profesional dan tak jarang dipanggil teman dan kerabat, untuk mengabadikan perhelatan yang mereka gelar. "Karunia sudah menjadi juru foto bayaran, bukan hanya karena kasihan atau daripada nganggur". Begitu Narto meneruskan ceritanya. Sampai umur 18 tahun, Karunia masih sangat terbatas kemampuannya. Lulus Sekolah Dasar Luar Biasa, anak perempuan satu-satunya itu divonis tidak dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dia nyaris tak berbuat apapun, sampai hari ulang tahun ke 18nya tiba. Iseng-iseng, Narto menghadiahkan kamera saku digital yang lagi in. Mula-mula dia hanya mencoba sebisanya. Tapi lama-lama, Karunia sangat menggemari "profesi"nya yang baru. Hasil jepretannya cukup bagus, bahkan ketika dikonsultasikan kepada ahli fotografi, foto-foto jepretan Karunia dinilai mempunyai nilai artistik dan teknik yang tinggi. Mulai bangun tidur sampai tidur kembali, kamera saku tak pernah lepas dari genggamannya, dan setiap hari dia menghasilkan puluhan atau ratusan foto yang disimpan dengan apik di lap top ibunya. Semuanya dilakukan sendiri. Sekarang dia telah menjadi fotografer professional, bayaran, dengan hasil jepretan yang memuaskan. Kameranyapun sudah berganti dengan yang lebih canggih, dengan teknologi dan beberapa asesoris yang rumit. Semuanya hasil jerih payah sendiri. Seorang gadis penyandang Down Syndrome yang selama 18 tahun tidak mampu berbuat apa-apa, helpless, menjadi seorang fotografer profesional yang dibutuhkan banyak orang.

Serupa dengan kisah Karunia (nama yang sengaja diberikan Narto dan Ning, setelah mereka tahu bahwa puteri pertamanya menyandang Down Syndrome, "agar selalu ingat bahwa itu adalah karunia dari Allah", katanya), saya ingat acara Kick's Andy beberapa minggu lalu. Seorang gadis dari Solo, Stephani Handoyo, yang juga penyandang Down Syndrome, berhasil menyabet medali emas untuk kejuaraan renang gaya dada 100 meter, di Special Olympic Singapore. Stephani berhasil mengalahkan saingannya dari seluruh dunia dan memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya saat dia dikalungi medali. Prestasi Stephani tidak hanya itu, dia juga ahli menarikan jari jemarinya diatas tuts piano, sambil mendendangkan lagu-lagu kesukaannya. Ibu Handoyo, bunda Stephani, terlihat bahagia dan bangga ketika mendapat compliment yang disebut oleh Andy Noya sebagai kontributor utama sampai Stephani bisa menjadi seperti ini.

Ada Karunia dan Stephani dari Indonesia. Ada Hee Ah Lee, dari Korea Selatan, yang bahkan disamping Down Syndrome juga menyandang Lobster Claw Syndrome, seseorang yang hanya mempunyai 2 jari pada setiap tangannya, seperti capit udang, tanpa telapak tangan. Ah Lee adalah seorang pianis kelas dunia yang mampu memainkan Piano Concerto 21, karya Mozart yang dikenal sangat sulit dan rumit dengan nyaris sempurna. Seorang pianis handal dengan hanya total 4 jari di tangannya. Dia mendapat banyak penghargaan atas kehebatannya bermain piano dan membawanya keliling dunia, termasuk bermain bersama pianis ternama Richard Clayderman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat.

Ada banyak lagi cerita kesuksesan dan prestasi dari mereka yang semula dianggap tak berdaya. Orang sakit, orang jompo, orang dengan kebutuhan khusus (istilah yang diberikan untuk mengganti "penyandang cacat", yang berkonotasi negatif), orang dengan IQ rendah, orang tak berbakat, kemudian terlihat mampu mengerjakan sesuatu yang tadinya tidak terkirakan oleh orang yang merasa dirinya normal. Anak yang kadung mendapat stigma negatif seperti bodoh, nakal, suka melawan, keluar pakem, tiba-tiba nyolong petek (bahasa Jawa, artinya : mengukir prestasi istimewa yang tidak diduga sebelumnya) menjadi orang hebat dan dikagumi masyarakat. Bawahan yang bertahun-tahun dicap malas, tidak berprestasi, dead wood, kemudian menemukan jati dirinya di bidang yang sama sekali berbeda dan menimbulkan decak kagum. Masih tentang cerita yang senada, adalah narasi dari foto diatas, yang berhasil dijepret seorang kawan di bandara Auckland, New Zealand. Seorang ibu manula, yang mengaku berumur 80 tahun, masih bersedia mengorbankan dirinya sebagai petugas informasi di bandara yang setiap hari dipenuhi penumpang. Ketika didekati, ternyata sang ibu mengenakan pin dengan tulisan "volunteer". Yah, ibu itu bertugas tanpa dibayar. Rela duduk dan menanti penumpang yang membutuhkan informasi tentang jadwal penerbangan, tata letak bandara dan informasi lainnya, sepanjang hari, sekali lagi for free. Bagaimana kita melihat itu sebagai suatu kejadian yang aneh? Pelajaran apa yang bisa ditarik dari semua fenomena sosial itu?

Margaret W. Matlin, Distinguished Teaching Psychology Professor di State University of New York at Ganeseo (1999) menulis dalam bukunya, tentang 3 tema utama untuk melihat manusia dengan kacamata ilmu jiwa. Pertama adalah bahwa manusia adalah makhluk hidup yang sangat kompeten. Tema kedua adalah manusia sangat berbeda, dari yang satu ke lainnya. Tema terakhir adalah proses psikologis sangat kompleks. Karunia, Stephani dan Ah Lee mengkonfirmasi tema-tema Matlin diatas. Semua manusia adalah sangat kompeten, tak peduli apakah dia memerlukan kebutuhan khusus, nenek jompo atau bawahan yang sudah terlanjur dicap dead wood. Yang sulit adalah bagaimana orang tua, atasan, sahabat, keluarga bisa menemukan kompetensi spesifik yang ada dalam diri seseorang. Konon, sebuah penelitian menyimpulkan bahwa hanya kurang dari 5% dari manusia Indonesia yang berhasil mengeluarkan kompetensi spesifik yang dimilikinya secara optimal. Menemukan kompetensi spesifik atau bakat seseorang memang sulit, seperti yang dikatakan Matlin pada pernyataan tema ke 3 diatas. Sesuatu yang hanya bisa dideteksi dengan kesabaran orang tua atau atasan dalam melihat anak atau anak buahnya dengan hati yang tulus. Kalau anak-anak penyandang Down Syndrome dan nenek manula terbukti bisa mengukir prestasi hebat, bagaimana manusia-manusia yang disebut "normal", yang saat ini banyak berada disekitar anda? Sekali lagi, kuncinya adalah mengamati dengan sabar dan melihat dengan saksama, menggunakan mata hati.


Kopenhagen: Don't Give Up Your Hope!



Renungan Akhir Minggu kali ini akan saya ambil dari tulisan karya "Aryobimo Pandu and Team Environment MEPI", yang mengulas latar belakang Konferensi Perubahan Iklim XV, Kopenhagen. Ada pihak yang merasa puas dan ada yang kecewa. Apapun perasaan masyarakat dunia, yang paling penting adalah mempertanyakan terus menerus bagaimana diri kita sendiri bisa tetap optimis dan selalu berkontribusi untuk menyelamatkan bumi kita tercinta ini.


Kopenhagen: Don't Give Up Your Hope!


Pada tanggal 7-18 Desember 2009 lalu, berlangsung Conferences of the Parties (COP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark. Konferensi tersebut adalah pertemuan tahunan yang diadakan oleh The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk membahas isu perubahan iklim dunia. Beberapa kesepakatan yang melatar-belakangi pertemuan tersebut antara lain adalah Kyoto Protocol (1997), Bali Action Plan (2007) dan terakhir adalah Copenhagen Accord (2009).


Sebelum COP ke-15 tersebut dilaksanakan, Menteri Iklim dan Energi Denmark Connie Hedegaard, sebagai tuan rumah, begitu optimis dan penuh semangat mengatakan "Selamat datang di Kopenhagen. Kita akan berjuang bersama di COP15 dan kami percaya akan menghasilkan yang terbaik". Terlebih, konferensi tersebut akan dihadiri oleh para kepala negara yang sangat diharapkan bisa membantu menemukan solusi bagi masalah perubahan iklim yang makin mengancam, salah satunya Presiden AS Barrack Obama dan PM Australia Kevin Rudd. Seperti yang diketahui hingga saat ini, Amerika Serikat belum meratifikasi Kyoto Protocol sementara Australia yang demikian sulit untuk meratifikasi protocol tersebut, pada 2007 lalu bertepatan dengan COP ke-13 di Bali akhirnya bersedia meratifikasinya melalui PM Kevin Rudd. Indonesia sendiri memperlihatkan komitmen dan inisiatif yang tinggi dalam mengatasi masalah perubahan iklim dengan mencanangkan akan menurunkan emisinya sebesar 26% hingga tahun 2020, lepas bagaimana program pemerintah untuk melaksanakannya. Hal tersebut diharapkan menjadi pemicu bagi negara-negara lain untuk berbuat hal yang sama.


Apa yang terjadi kemudian dari COP ke-15 tersebut bisa disebut sangat mengecewakan. Hasil pertemuan yang disebut Copenhagen Accord dianggap "seinci dari kegagalan" karena tidak bersifat mengikat secara hukum (legally binding), namun hanya bersifat take note. Hasil yang bersifat take note adalah hasil yang dianggap paling lemah karena tidak cukup untuk menjawab tantangan global warming yang semakin nyata. Kegagalan tersebut adalah karena tidak ada target yang riil berupa nilai emisi yang disepakati untuk diturunkan sampai tahun 2020, melainkan hanya komitmen untuk menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak melampaui 2 derajat Celcius.


Mengapa begitu sulit untuk para pemimpin Negara untuk bersepakat mengenai nilai emisi yang harus diturunkan? Jawabannya adalah karena saat ini kebijakan mereka relatif hanya dibuat atas dasar kepentingan ekonomi, yang katanya, digunakan untuk mensejahterakan rakyat tanpa sama sekali memikirkan kepedulian akan kelestarian lingkungan. Mereka lupa bahwa manusia dalam kodratnya adalah juga merupakan bagian dari lingkungan. Alhasil, kegagalan COP ke-15 tersebut menyebabkan kebanyakan masyarakat dunia menjadi pesimis akan adanya solusi untuk mencegah bumi semakin panas. Logikanya, kalau di top level saja para pemimpin dunia tidak bisa berkomitmen, tindakan di level grass root hampi tidak ada gunanya.


Lantas, apakah keadaannya benar-benar sedemikian mengkhawatirkan sehingga tidak ada sedikitpun harapan agar keadaan berubah? Tentu saja tidak. Negara-negara di dunia akan ikut serta dalam COP tahunan yang terus dilakukan untuk melakukan perbaikan. Walaupun berjalan lambat, perbaikan tetap terjadi. Hanya dengan menunjukan langkah nyata serta komitmen yang tinggi untuk mulai menyusun kebijakan yang tidak sekedar mengatasnamakan kemakmuran manusia, kita dapat mengatasi masalah terbesar kita saat ini. Kalau para pemimpin gagal membuat kesepakatan dan tanpa keterikatan untuk menyelamatkan bumi ini, para umat yang jumlahnya milyardan harus mengambil posisi ini, dengan bersama-sama membuat keterikatan sendiri. Dalam diri kita masing-masing dan terus menerus dilakukan.


Dalai Lama suatu ketika pernah berkata "I find hope in the darkest of days, and focus in the brightest. I do not judge the universe". Kalau kita mengibaratkan saat ini adalah masa yang paling kelam, tetaplah berharap pada titik yang paling cerah karena tidak ada gunanya menyalahkan para pemimpin kita apalagi alam raya ini. Don't give up your hope!


HAWTHORNE EFFECT : ATENSI MELAHIRKAN PRODUKTIVITAS

Ada cerita sukses dari perusahaan yang memproduksi pembungkus telur ayam di Massachusetts, Amerika. Diamond International Corporation, begitu nama company tersebut, mengenalkan program pemacu produktivitas dengan membentuk Klub 100. Yang ini bukan perkumpulan sepakbola atau olahraga lainnya, juga bukan kumpul-kumpul menghimpun pencinta seni dan budaya. Klub 100 adalah suatu himpunan pekerja yang karena pencapaian kinerja-kinerja tertentu, akhirnya mendapat ponten 100. Siapa saja boleh bergabung dengan Klub 100, tua-muda, pria-perempuan, atasan-bawahan, asalkan setelah dijumlah-jumlah dia berhasil mengakumulasikan angka 100, berdasarkan aturan yang telah ditentukan. Angka 100 bisa dihasilkan melalui, misalnya, apabila pekerja tidak pernah absen selama setahun, maka dia mencatat skor 35. Nilai 10 diperoleh bila si pekerja bebas dari surat-peringatan. Bila si pekerja juga membukukan jam kerja tanpa celaka, maka dia boleh mengantongi tambahan 40. Begitu seterusnya untuk catatan-catatan yang menggembirakan dalam improvement proses kerja, aktif dalam lingkup karya sosial, dan beberapa hal lain yang menjadi concern perusahaan pada waktu itu. Apa yang didapat bila angka 100 sudah diraihnya? Dia dicatat sebagai anggota Klub 100, dan berhak untuk mengenakan jaket perusahaan yang disulam dengan benang emas "Klub 100". Jaket Klub 100 memang dibuat khusus, modis, dan terkesan elit. Ya, memang hanya itu. Ternyata pembentukan Klub 100 bisa membuat pekerja bersemangat masuk dalam kelompok itu. Dan itu tidak gampang. Rata-rata diperlukan waktu 1 tahun untuk mencapai angka 100, karena ternyata ada angka minus bila pekerja melakukan hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan tata-nilai atau aturan perusahaan. Setelah angka 100 dicapai, maka poin selanjutnya yang dikejar adalah angka 600. Bila angka psikologis tersebut disentuh, maka dia berhak memilih 1 diantara 40 "hadiah" yang ditawarkan, diantaranya adalah berlibur bersama keluarga ke tempat peristirahatan selama akhir minggu.


Memang benar, bahwa setelah program Klub 100 diluncurkan, produktivitas Diamond terangkat naik. Ia naik ke peringkat paling atas diantara para pesaingnya. Apa yang menyebabkan Klub 100 berhasil menjadi pemacu produktivitas? Apakah karena hadiah jaket atau liburan bersama keluarga? Saya ingat teori motivasi yang mungkin bisa menerangkan hal ini. Penelitian yang menghasilkan Hawthorne Effect dilakukan disuatu pabrik yang memisahkan sekelompok pekerja untuk diamati. Mereka tetap bekerja dengan kondisi kerja yang sama kecuali dalam hal penerangan. Ketika jumlah iluminasi diruang penelitian dinaikkan, produktivitas grup pekerja tersebut ikut naik. Penerangan ditambah lagi, produktivitas juga mengikutinya. Sampai disini para peneliti buru-buru mengambil kesimpulan bahwa produktivitas merupakan fungsi dari jumlah penerangan yang diberikan di ruang kerja. Anehnya, ketika penelitian diteruskan dengan mengurangi jumlah cahaya, produktivitas tidak ikut turun, bahkan ketika jumlah cahaya diturunkan sampai ke level awal penelitian, produktivitas pekerja tak beringsut turun. Akhirnya, kesimpulan yang diambil adalah bahwa produktivitas yang terus naik disebabkan atensi yang diberikan kepada sekelompok pekerja obyek penelitian. Menjadi obyek penelitian merupakan suatu bentuk dari atensi yang diberikan. Produktivitas merupakan fungsi yang berbanding lurus dari atensi dan bukan karena kondisi kerja.



Hawthorne Effect merupakan rangkaian teori motivasi yang berkembang sejak Management Science (Taylor), Hierarchy of Needs (Maslow) dan berpuncak pada Maintenance-Hygine Factor (F. Herzberg). Semuanya bermuara pada suatu kesimpulan bahwa produktivitas dan motivasi bisa ditingkatkan bila pekerja mendapat attention, recognition, achievement, growth, dan responsibility. Penelitian mengenai kecelakaan kerja juga mendukung hal ini. 75% Lost Time Incident termasuk fatality disebabkan oleh root cause yang mengarah kepada ketiadaan atau kekurangan perhatian atasan terhadap anggota timnya. Tidak hanya menurunkan produktivitas dan motivasi, keteledoran akan peduli kepada rekan kerja sering berakibat fatal bahkan sampai menghilangkan nyawa si pekerja.



Hawthorne Effect rasanya juga valid untuk diperlebar mencakup lingkungan diluar dunia kerja. Perlakuan kita terhadap anggota keluarga, tetangga, masyarakat atau secara umum kepada sesama, sangat mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku. Dalam masyarakat yang dingin, terlalu memegang formalitas dan transaksional, yang jauh dari adanya atensi yang menyentuh, akan mengikis spirit untuk guyub dan hidup dalam suasana yang hangat akan musna. Itulah yang mungkin bisa menjawab pertanyaan mengapa masyarakat kita saat ini bersumbu pendek dan acuh terhadap kepentingan orang lain.



It is our benefit to care for others (John W Maxwell, Pendiri INJOY Group, Motivator)



Stockholm Syndrome: Saya Banyak Belajar Dari Anda

Persis 2 hari menjelang tahun baru 2010, bangsa Indonesia kehilangan seorang putera terbaik yang pernah dimiliki negara ini. Kita, bahkan dunia internasional, kehilangan pendekar kemanusiaan yang dikenal kontroversial. Dia adalah Gus Dur, satu manusia dengan seribu predikat, yang diantaranya sering disebut adalah tokoh demokrasi, pejuang pluralisme, guru bangsa, pelopor humanisme dan egaliter tulen. Setelah Gus Dur wafat, ratusan atau bahkan ribuan cerita inspiratif muncul di media massa elektronik, cetak maupun on line. Semuanya mengenang Gus Dur dengan pelbagai sudut pandang. Cerita-cerita yang mengharukan, membanggakan, menakjubkan dan sering membuat kita tertawa geli, karena Gus Dus juga dikenal sebagai ahli cerita lucu yang orisinil, dan smart. Salah satu cerita yang membuat saya terhenyak, disampaikan oleh seorang sahabat dekat keluarga Gus Dur, di suatu stasiun TV. Dia mengisahkan dialog yang terjadi antara Gus Dur dengan puterinya, Yenny Wahid, yang sedang sibuk mempersiapkan resepsi pernikahan, beberapa bulan yang lalu. Suatu malam, Yenny membawa daftar nama yang bakal diundang pada malam resepsi dan melapor kepada bapaknya. "Pak, ini nama-nama yang kami himpun, untuk diundang pada malam resepsi nanti. Ada 2 daftar, pertama adalah tamu-tamu VIP, sedangkan yang kedua adalah tamu-tamu biasa". Belum selesai Yenny menghabiskan kalimatnya, Gus Dus segera menukas, seperti biasa dengan nada keras, tegas dan penuh percaya diri. "Yenny, tamu-tamu nanti hanya 1. Tidak ada VIP atau non-VIP. Semuanya VVIP. Ketika kita mengundang orang untuk hadir pada perhelatan yang kita adakan, dan dia hadir, maka kita harus menyambut semuanya dengan perlakuan yang sama. Semuanya sangat spesial, semuanya VVIP". Yenny masih berusaha mendebat bapaknya, dengan mengatakan bahwa kemungkinan besar, RI-1, RI-2 dan sebagian besar menteri akan hadir. "Bagaimana kita menyambutnya, bila semuanya sama?". Begitu Yenny mengemukakan alasannya yang sepertinya masuk akal sehat kita. "RI-1 dan RI-2 adalah tamu VVIP, tetapi tukang becak, tukang pijat, tukang ojeg, dan tetangga-tetangga kita di Ciganjur juga tamu VVIP kita. Mereka semuanya sama". Yenny terdiam dan sampai disini dia knock out, 1-0 untuk Gus Dur. Meskipun dengan hati bingung dan bertanya-tanya, Yenny balik kanan dan menyampaikan hal itu kepada panitia protokol, untuk ditindak lanjuti. Panitia bingung, keluarga bingung, semua bingung, bahkan saya sendiripun, seperti ribuan penonton acara tersebut mungkin juga ikut bingung. Tapi itulah Gus Dus, tokoh demokrasi dan egaliter tulen.

Saya berpikir dan terus merenung. Kalimat Gus Dur terus mengiang-iang di telinga saya. "Ketika kita mengundang orang untuk hadir pada perhelatan yang kita adakan, dan dia hadir, maka kita harus menyambut semuanya dengan perlakuan yang sama. Semuanya sangat spesial, semuanya VVIP". Saya langsung teringat keluhan beberapa teman yang sering juga saya alami, ketika menghadiri undangan pernikahan kerabat, atau teman dekat. Antrean panjang dan berdesak-desakan untuk bergantian memberi ucapan selamat bagi mempelai dan kedua orang tua, dan tanpa disadari ada tamu yang dianggap VIP oleh panitia atau tuan rumah, memotong antrean, langsung dipandu kedepan. MC mencabut microphone untuk basa-basi permohonan maaf, untuk memberi kesempatan utama bagi yang terhormat bapak dan ibu Anu, sebagai pejabat tertentu agar terlebih dahulu memberikan ucapan selamat diikuti foto bersama. Antrean terpaksa berhenti, tamu-tamu yang antre langsung terdegradasi sebagai undangan kelas 2, atau mungkin bahkan kelas 3 sambil menyaksikan pertunjukan di panggung bagaimana tamu VIP memberikan ucapan selamat dan berfoto ria. Kejadian diatas sering kita alami, tetapi rasa-rasanya seperti biasa-biasa saja. Menjadi tidak biasa ketika saya disadarkan oleh Gus Dur tentang bagaimana kita harus menyambut tamu, undangan kita sendiri. Mungkin saya kurang sensitif, atau mungkin Gus Dur terlalu sensitif. Tapi saya malu ketika untuk hal sepele seperti ini, sensivitas saya harus dibangunkan oleh Gus Dur, tokoh bangsa yang baru saja wafat.

Terus merenungi cerita Yenny versus Gus Dur, saya teringat akan sindroma yang dikenalkan oleh seorang Psikolog (atau Psikiater ?), Nils Bejerot. Diilhami dari suatu kejadian nyata di kota Stockholm, Swedia, pertengahan Agustus 1973, ketika beberapa perampok menyerbu Kreditbanken di daerah Norrmalmstorg, dan menyandera pekerja-pekerja bank, selama 6 hari. Lucunya, ketika akhirnya polisi menyerbu untuk membebaskan para sandera, mereka malah membela penyandera dengan melawan penyerbu dan membentengi perampok dari rentetan tembakan yang dimuntahkan polisi. Bejerot, yang diminta polisi mendampingi tragedi Stockholm sebagai psikolog, menamakan itu sebagai Stockholm Syndrome. Teori Bajerot ternyata terus berkembang ke ranah psikologi sosial dan psikologi organisasi. Frank Ochberg, Psikolog yang juga menekuni sindroma ini menyatakan bahwa Stockholm Syndrome adalah ungkapan rasa terima kasih yang sederhana atas hadiah kehidupan yang diberikan kepada seseorang, serupa yang dirasakan seorang bayi, ketika lapar dan mendapatkan sebotol susu. Terjadi Psychological attached dari seseorang kepada pihak yang dianggap "menyelamatkannya", meskipun sebetulnya itu adalah hak dia. Konteksnya tidak lagi hanya terpaku pada kasus perampok dan sandera, tetapi meluas ke transaksi antara atasan-bawahan, atau bahkan antara orang yang dihormati versus orang yang menghormati. Analogi dari cerita di Kreditbanken, bawahan yang menempatkan atasan sebagai segala-galanya, can do no wrong, selalu sendiko dawuh, tanpa check and balance, atau memperlakukannya berlebihan sambil mengorbankan orang lain, hasil dari perilaku atasan yang secara konsisten otoriter, dominan dan one man show, dikategorikan sebagai Stockholm Syndrome versi Psikologi Industri, sementara menempatkan tamu tertentu lebih istimewa dibanding tamu-tamu lainnya, merupakan sindroma versi Psikologi Sosial. Stockholm Syndrome adalah fenomena yang merugikan sistem secara keseluruhan. Bawahan yang menderita sindroma ini, karena atasan yang berperilaku otoriter, justru tidak membantu atasan dalam membuat keputusan yang baik. Tuan rumah yang mengistimewakan tamu tertentu justru membiarkan mereka dicemooh diam-diam oleh tamu-tamu lainnya. Check and balance adalah kuncinya, agar dunia ini selalu tetap berputar dengan ritmis dan selaras. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Selamat jalan Gus, saya banyak belajar dari anda.