
Drill atau latihan seperti ini, mutlak diperlukan dalam menjalankan bisnis. Ia akan membiasakan kita secara otomatis beraksi, apabila menjumpai suatu kondisi tertentu yang memerlukan suatu reaksi. General Rehearsal atau gladi resik akan melahirkan reaksi yang spontan tapi terencana, penuh perhitungan dan sesuai prosedur yang berlaku, dan akan sangat membantu managemen memenuhi kebutuhan, tantangan atau ancaman yang ada. Skenario serupa saya tonton di film This Is It. Michael Jackson yang sudah lebih dari 8 tahun tidak tampil dalam konser musik, akhirnya memutuskan untuk turun gunung. Konser akbar yang akan digelar di stadium O2, London merupakan konser perpisahan sang bintang di dunia show biz, sebelum akhirnya dia merencanakan untuk pensiun dan beralih ke dunia sosial. Konser di O2 menjadi awal dari road show untuk melengkapi 50 konser berikutnya, yang tiket masuknya sudah habis dalam waktu hanya 3 hari. Untaian konser yang menelan dana USD 20 juta dan digawangi oleh AEG Live sebagai produser dan penyandang dana.
Film This Is It merupakan film dokumenter yang menyajikan suatu kisah nyata, bagaimana MJ, begitu Michael Jackson biasa dipanggil, yang didukung oleh lebih dari 300 crew, melakukan latihan-latihan selama hampir 6 bulan. This Is It, yang diambil dari judul untaian konser penutup sang bintang, di terbitkan ke publik, ketika ternyata MJ kena serangan jantung dan meninggal dunia 1 bulan sebelum konser digelar. Ironis memang, tapi MJ tetaplah seorang super star, seorang King of the Pop yang meskipun akhirnya meninggal sebelum konser terwujud, tetap menjadi headline dari media masa seluruh dunia, sampai hari ini. This is it memang bermakna "Inilah puncaknya". Puncak kehidupan seorang sang bintang.
Kalau orang melihat This Is It sebagai sebuah film musik, atau film entertainment, saya justru melihatnya sebagai sebuah film Manatainment. Film tentang managemen yang dikemas dengan musik dan aksi panggung, dan dipamerkan dengan prinsip-prinsip managemen yang benar. Sebuah pertunjukan film yang menggambarkan bagaimana sebuah industri dikelola, sebuah program direncanakan dan sebuah cita-cita harus diwujudkan. Dimulai dengan proses recruitment, ketika 300 pelamar dari Australia, Asia, Eropa dan tentunya Amerika, atas biaya sendiri, mengajukan diri untuk menjadi penari latar sang bintang. Mereka berbondong-bondong datang dan dinilai oleh suatu scouting team dalam suatu audisi yang terstruktur, profesional, dan transparan. Hanya 8 dari mereka yang diterima dan hasilnya memang they are the top eight dancers dari seluruh dunia. Proses recruitment untuk sebuah show biz, dilakukan dengan prinsip-prinsip managemen moderen yang patut ditiru. Hal yang sama dilakukan untuk menjaring pemain musik, penata cahaya, penata panggung, kreografer, dan seluruh anggota tim lainnya.
Recruitment barulah suatu awal dari proses managemen yang dipamerkan. Masih ada proses-proses managemen lainnya yang mengikutinya. Trainning, developing, coaching, innovation, professionalism, decision making dijalankan dengan sangat saksama. Bahkan Kenny Ortega, sang pemimpin AEG Live mempertunjukkan bagaimana safety harus menjadi prioritas utama dari suatu proses produksi. Ketika skenario pertunjukan mengharuskan MJ naik keatas crane yang diangkat setinggi 5 meter diatas permukaan tanah, Ortega memulainya dengan safety talk dan beberapa kali berteriak agar MJ selalu pegangan hand rail sesuai dengan SOP yang ada. Itu belum cukup. MJ rencananya menyanyikan tangisan masyarakat karena lingkungan dan alam yang dirusak oleh industri lainnya. Dalam lagu yang berjudul Earth Song, MJ merintih dan setengah protes, mengapa hutan di Amozon ditebang dan dihabiskan atas nama keserakahan manusia. Lengkap sudah aspek-aspek managemen yang diperlihatkan MJ dalam mengelola organisasinya. MJ ibarat Presiden Direktur yang memimpin timnya dalam mewujudkan konser yang diidam-idamkan.
Ada 3 hal yang saya garisbawahi ketika MJ bertindak sebagai atasan. Pertama, dia mempunyai visi yang kuat dan dapat dilihat oleh seluruh anggota organisasi. Anggota tim dapat menangkap apa yang menjadi cita-cita MJ dalam konsernya kelak. MJ mempunyai drive yang tegas, tetapi dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang sangat santun dan friendly. Lebih dari kesantunan seorang priyayi Solo. Kedua, ketika MJ melakukan kesalahan, atau bahkan ketika sekedar salah paham, dia selalu meminta maaf kepada anak buahnya. Saya mencatat MJ mengeluarkan lebih dari 25 kali kata-kata I'm sorry, sambil menjelaskan mengapa "kesalahan" ini terjadi. Yang paling istimewa, MJ me-recognize anggota timnya yang sukses dengan kalimat yang sangat agamis, God bless you. Saya tidak habis pikir, bagaimana ketiga hal tersebut diatas bisa keluar dari seorang super star seperti MJ, yang lahir dan besar di Amerika.
Industri, apapun jenisnya, dimanapun mereka beroperasi, dan siapapun pelakunya ternyata harus menerapkan prinsip yang sama. Teori managemen moderen mensyaratkan kita untuk menganut pendekatan yang serupa. MJ telah mengajarkan kepada kita bagaimana sebuah industri dikelola, bagaimana anggota-anggota tim diperlakukan sebagai sesama manusia dengan pendekatan yang manusiawi. Masih teriang-iang ditelinga saya suara MJ yang menyentak-nyentak ketika menyayikan lagu Beat It. Beat it….beat it…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar