Selasa, 27 April 2010

Bystander Effect – Mereduksi Tanggung Jawab dan Inisiatif

Indonesia menangis lagi. Gempa dengan kekuatan yang cukup besar melanda Jawa Barat selatan, yang getarannya bahkan sampai ke Bidakara. Korban meninggal berjumlah puluhan, luka-luka ratusan dan yang masih dinyatakan hilang mencapai lebih dari lima puluh orang. Belum korban harta benda dan trauma psikologis yang tidak ternilai besarannya. Sampai dengan 10 hari setelah bencana, tim SAR nasional masih berusaha mencari korban hilang yang tertimpa tanah dan batu longsor yang sangat sulit untuk digali. Terlihat di layar TV ratusan orang berada dilokasi "kuburan masal" tsb. Mereka bergerombol di kaki bukit yang separuhnya telah runtuh menimpa korban yang tak berdosa. Ironisnya, hanya sekitar belasan orang yang benar-benar menggali tumpukan tanah dan batu untuk mencari mayat-mayat yang ada didalamnya, sedangkan sisanya hanya menonton "pertunjukan" yang sama sekali tidak menarik. Mengapa bisa terjadi ratusan orang hanya menonton, sementara belasan orang yang lain sedang berusaha mati-matian menolong orang yang tertimpa bencana? Mengapa orang akan cenderung apatis, diam dan tak berbuat sesuatu terhadap orang lain yang dalam kesulitan, bila disana ada lebih banyak orang? Mengapa bila yang hadir hanya 1 orang, maka dia akan cenderung langsung melakukan sesuatu untuk menolong orang lain yang tertimpa kesusahan?

Para ahli Psikologi Sosial menamakan gejala itu sebagai Bystander Effect. Suatu fenomena yang menunjukkan bahwa kehadiran orang (-orang) lain justru menghilangkan keinginan seseorang untuk menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Bystander Effect mulai diidentifikasi pada tahun 1964, di Arizona, Amerika, ketika Kitty Genovese, pagi buta diserang orang tak dikenal di depan apartemennya. Ia berteriak minta tolong dan si penyerang lari menjauh untuk kemudian kembali dan menikam Kitty sekali lagi. Kitty kembali berteriak minta tolong untuk kedua kali, dan kejadian yang sama terulang sekali lagi. 3 kali Kitty ditikam dan 3 kali dia berteriak minta tolong. Tak seorangpun dari tetangga yang melihat dan mendengar kejadian itu datang menolong atau menelpon polisi. 38 tetangganya mendengar dan 18 diantaranya bahkan melihat kejadian itu secara utuh. Akhirnya Kitty memang meninggal dunia. Kejadian ini mulai diteliti oleh 2 orang Psikolog Sosial, Bibb Latane dan John Darley (1968), yang menyimpulkan bahwa 95% orang akan segera bertindak menolong orang bila dia merasa seorang diri ditempat kejadian, sementara hanya 15% orang akan segera menolong bila dia tahu ada orang lain yang juga ada disana. Jika orang merasa bahwa dia merupakan bagian dari suatu grup, maka justru menyurutkan initiatif dan tanggung jawab sosialnya untuk menolong orang lain. Telah terjadi diffusion of responsibility, yang berhubungan dengan kemalasan berjamaah (social loafing). Didunia nyata, Batson (1995) menyatakan bahwa people are significantly less likely to help when other people are nearby.


Fenomena Bystander Effect kemudian di adopsi oleh cabang ilmu Psikologi Industri dan Organisasi. Kelebihan pekerja dalam perusahaan (over manning) merupakan salah satu penyebab mengapa justru initiatif dan tanggung jawab menjadi luntur. Orang malahan saling menunggu untuk memulai dan menyelesaikan suatu pekerjaan ketika dia tahu ada orang lain yang mungkin melakukannya. Tim akan kontra produktif justru ketika anggotanya dinilai berlebihan dibanding beban kerja yang harus mereka pikul. Organisasi yang gemuk akan gampang melahirkan Bystander Effect, yang akhirnya akan membuat organisasi tidak efektif dan efisien.


Contoh Bystander Effect dapat dilihat pada saat evakuasi gempa di gedung Bidakara minggu lalu. Ketidak jelasan peran dan panik berlebihan membuat pihak yang seharusnya memimpin evakuasi saling menunggu untuk melakukannya. Hal lain yang berpotensi menimbulkan Bystander Effect di operasi MEPI adalah system back to back, on-off, over manning, menggemuknya organisasi, yang prosesnya mungkin belum dikawal dengan saksama. Salah satu jalan keluar untuk mengamankan proses-proses ini adalah menentukan person in charge atau single person accountability secara jelas dan dipahami semua pihak serta kejelasan peran seluruh anggota organisasi. Bila itu dilakukan, akan lahir suatu kerja sama tim (team work) yang efektif, dan bukan sama-sama kerja atau bahkan sama-sama tidak kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar