Selasa, 27 April 2010

Stockholm Syndrome: Saya Banyak Belajar Dari Anda

Persis 2 hari menjelang tahun baru 2010, bangsa Indonesia kehilangan seorang putera terbaik yang pernah dimiliki negara ini. Kita, bahkan dunia internasional, kehilangan pendekar kemanusiaan yang dikenal kontroversial. Dia adalah Gus Dur, satu manusia dengan seribu predikat, yang diantaranya sering disebut adalah tokoh demokrasi, pejuang pluralisme, guru bangsa, pelopor humanisme dan egaliter tulen. Setelah Gus Dur wafat, ratusan atau bahkan ribuan cerita inspiratif muncul di media massa elektronik, cetak maupun on line. Semuanya mengenang Gus Dur dengan pelbagai sudut pandang. Cerita-cerita yang mengharukan, membanggakan, menakjubkan dan sering membuat kita tertawa geli, karena Gus Dus juga dikenal sebagai ahli cerita lucu yang orisinil, dan smart. Salah satu cerita yang membuat saya terhenyak, disampaikan oleh seorang sahabat dekat keluarga Gus Dur, di suatu stasiun TV. Dia mengisahkan dialog yang terjadi antara Gus Dur dengan puterinya, Yenny Wahid, yang sedang sibuk mempersiapkan resepsi pernikahan, beberapa bulan yang lalu. Suatu malam, Yenny membawa daftar nama yang bakal diundang pada malam resepsi dan melapor kepada bapaknya. "Pak, ini nama-nama yang kami himpun, untuk diundang pada malam resepsi nanti. Ada 2 daftar, pertama adalah tamu-tamu VIP, sedangkan yang kedua adalah tamu-tamu biasa". Belum selesai Yenny menghabiskan kalimatnya, Gus Dus segera menukas, seperti biasa dengan nada keras, tegas dan penuh percaya diri. "Yenny, tamu-tamu nanti hanya 1. Tidak ada VIP atau non-VIP. Semuanya VVIP. Ketika kita mengundang orang untuk hadir pada perhelatan yang kita adakan, dan dia hadir, maka kita harus menyambut semuanya dengan perlakuan yang sama. Semuanya sangat spesial, semuanya VVIP". Yenny masih berusaha mendebat bapaknya, dengan mengatakan bahwa kemungkinan besar, RI-1, RI-2 dan sebagian besar menteri akan hadir. "Bagaimana kita menyambutnya, bila semuanya sama?". Begitu Yenny mengemukakan alasannya yang sepertinya masuk akal sehat kita. "RI-1 dan RI-2 adalah tamu VVIP, tetapi tukang becak, tukang pijat, tukang ojeg, dan tetangga-tetangga kita di Ciganjur juga tamu VVIP kita. Mereka semuanya sama". Yenny terdiam dan sampai disini dia knock out, 1-0 untuk Gus Dur. Meskipun dengan hati bingung dan bertanya-tanya, Yenny balik kanan dan menyampaikan hal itu kepada panitia protokol, untuk ditindak lanjuti. Panitia bingung, keluarga bingung, semua bingung, bahkan saya sendiripun, seperti ribuan penonton acara tersebut mungkin juga ikut bingung. Tapi itulah Gus Dus, tokoh demokrasi dan egaliter tulen.

Saya berpikir dan terus merenung. Kalimat Gus Dur terus mengiang-iang di telinga saya. "Ketika kita mengundang orang untuk hadir pada perhelatan yang kita adakan, dan dia hadir, maka kita harus menyambut semuanya dengan perlakuan yang sama. Semuanya sangat spesial, semuanya VVIP". Saya langsung teringat keluhan beberapa teman yang sering juga saya alami, ketika menghadiri undangan pernikahan kerabat, atau teman dekat. Antrean panjang dan berdesak-desakan untuk bergantian memberi ucapan selamat bagi mempelai dan kedua orang tua, dan tanpa disadari ada tamu yang dianggap VIP oleh panitia atau tuan rumah, memotong antrean, langsung dipandu kedepan. MC mencabut microphone untuk basa-basi permohonan maaf, untuk memberi kesempatan utama bagi yang terhormat bapak dan ibu Anu, sebagai pejabat tertentu agar terlebih dahulu memberikan ucapan selamat diikuti foto bersama. Antrean terpaksa berhenti, tamu-tamu yang antre langsung terdegradasi sebagai undangan kelas 2, atau mungkin bahkan kelas 3 sambil menyaksikan pertunjukan di panggung bagaimana tamu VIP memberikan ucapan selamat dan berfoto ria. Kejadian diatas sering kita alami, tetapi rasa-rasanya seperti biasa-biasa saja. Menjadi tidak biasa ketika saya disadarkan oleh Gus Dur tentang bagaimana kita harus menyambut tamu, undangan kita sendiri. Mungkin saya kurang sensitif, atau mungkin Gus Dur terlalu sensitif. Tapi saya malu ketika untuk hal sepele seperti ini, sensivitas saya harus dibangunkan oleh Gus Dur, tokoh bangsa yang baru saja wafat.

Terus merenungi cerita Yenny versus Gus Dur, saya teringat akan sindroma yang dikenalkan oleh seorang Psikolog (atau Psikiater ?), Nils Bejerot. Diilhami dari suatu kejadian nyata di kota Stockholm, Swedia, pertengahan Agustus 1973, ketika beberapa perampok menyerbu Kreditbanken di daerah Norrmalmstorg, dan menyandera pekerja-pekerja bank, selama 6 hari. Lucunya, ketika akhirnya polisi menyerbu untuk membebaskan para sandera, mereka malah membela penyandera dengan melawan penyerbu dan membentengi perampok dari rentetan tembakan yang dimuntahkan polisi. Bejerot, yang diminta polisi mendampingi tragedi Stockholm sebagai psikolog, menamakan itu sebagai Stockholm Syndrome. Teori Bajerot ternyata terus berkembang ke ranah psikologi sosial dan psikologi organisasi. Frank Ochberg, Psikolog yang juga menekuni sindroma ini menyatakan bahwa Stockholm Syndrome adalah ungkapan rasa terima kasih yang sederhana atas hadiah kehidupan yang diberikan kepada seseorang, serupa yang dirasakan seorang bayi, ketika lapar dan mendapatkan sebotol susu. Terjadi Psychological attached dari seseorang kepada pihak yang dianggap "menyelamatkannya", meskipun sebetulnya itu adalah hak dia. Konteksnya tidak lagi hanya terpaku pada kasus perampok dan sandera, tetapi meluas ke transaksi antara atasan-bawahan, atau bahkan antara orang yang dihormati versus orang yang menghormati. Analogi dari cerita di Kreditbanken, bawahan yang menempatkan atasan sebagai segala-galanya, can do no wrong, selalu sendiko dawuh, tanpa check and balance, atau memperlakukannya berlebihan sambil mengorbankan orang lain, hasil dari perilaku atasan yang secara konsisten otoriter, dominan dan one man show, dikategorikan sebagai Stockholm Syndrome versi Psikologi Industri, sementara menempatkan tamu tertentu lebih istimewa dibanding tamu-tamu lainnya, merupakan sindroma versi Psikologi Sosial. Stockholm Syndrome adalah fenomena yang merugikan sistem secara keseluruhan. Bawahan yang menderita sindroma ini, karena atasan yang berperilaku otoriter, justru tidak membantu atasan dalam membuat keputusan yang baik. Tuan rumah yang mengistimewakan tamu tertentu justru membiarkan mereka dicemooh diam-diam oleh tamu-tamu lainnya. Check and balance adalah kuncinya, agar dunia ini selalu tetap berputar dengan ritmis dan selaras. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Selamat jalan Gus, saya banyak belajar dari anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar