Selasa, 27 April 2010

Tukang Becak Surabaya

Kisah ini sudah sering kita dengar. Anekdot lucu khas Surabaya, yang meskipun sudah diulang-ulang diceritakan masih menimbulkan gelak-tawa bagi pendengarnya. Bowo adalah pemuda kelahiran Surabaya yang lahir dan besar di Surabaya. Saat ini Bowo menjadi pengusaha sukses di Jakarta. Suatu hari Bowo berlibur ke kota kelahirannya, ingin memamerkan kehebatannya dihadapan teman-temannya. Cak Bowo, pengusaha sukses terlihat mentraktir arek-arek Suroboyo di Tunjungan. Dan tak mau dibilang sombong, dia ingin naik becak kerumah pakliknya di Pasar Turi. "Cak, nang Pasar Turi piro?", begitu cak Bowo menawar Becak. "Sepuluh ewu"' jawab cak Buat, si tukang becak. Akhirnya, dengan terpaksa, cak Buat setuju untuk membawa cak Bowo ke Pasar Turi, dengan ongkos hanya Rp 5.000,-. Dalam perjalanan, ternyata cak Buat nggenjot becaknya dengan ugal-ugalan. Angkot diselip, motor dipepet, jangan ditanya bagaimana cara dia memperlakukan mobil-mobil pribadi. Senggol sana, srempet sini, tentunya dengan kecepatan tinggi. Meskipun cak Bowo gagah-berani dan brangasan, khas Suroboyo, tak urung cak Bowo kecut juga hatinya. Ditegur pelan-pelan beberapa kali, tak menyebabkan cak Buat berubah. Akhirnya Bowo muntab. Si tukang becak dibentak dengan kasar, "Jok ugal-ugalan pok'o cak. Aku gak kesusu"?. Sambil bergumam pelan, cak Buat mendengus, "Limang ewu kok njaluk slamet".

Apa yang terjadi dalam proses berpikir cak Buat?. Apa yang menyebabkan dia berpendapat bahwa kalau ongkos murah, maka boleh ugal-ugalan, boleh celaka?. Cak Buat telah melakukan kesalahan yang sangat mendasar. Dia telah memisahkan faktor keselamatan (penumpang dan dirinya) dengan proses produksi yang sedang dilakoninya. Bahkan dia memisahkan ongkos untuk mengantarkan cak Bowo ke Tunjungan dengan keselamatan pelanggan dan dia sendiri. Dia menganggap bahwa pelayanan ke pelanggan adalah sesuatu yang bisa dipisahkan dengan keselamatan, dalam hal ini keselamatan mengendarai becak. Kalau membawa penumpang ke tujuan tanpa safety, maka ongkosnya boleh lebih murah dibanding bila dia harus memasukkan pertimbangan safety. Bahaya sedang mengancam cak Buat dan pelanggan-pelanggannya, karena cak Buat mempunyai budaya tebang-pilih yang keliru. Padahal, keselamatan kerja (dan juga : kesehatan kerja dan lindung lingkungan, SHE) adalah faktor yang melekat dalam proses kerja itu sendiri. Seorang ahli keselamatan kerja dari Inggris, Kirwan (1998) mengatakan bahwa salah satu kegagalan leadership dalam dunia industri adalah apabila ia tidak mengintegrasikan faktor safety dalam proses produksinya.


Apa yang dilakukan cak Buat, ternyata juga sering kita lakukan. Pemisahan item-item yang berkenaan dengan SHE di kontrak kerja, masih terjadi. SHE justru dieksklusifkan sebagai faktor tersendiri yang, apabila tidak dibutuhkan, bisa ditinggalkan. Jika penghematan harus dilakukan, maka SHE merupakan elemen pertama yang dikeluarkan atau dikurangi dari proses produksi. Pihak yang dianggap mempunyai accountability terhadap SHE juga dengan gampang dipisahkan dan tidak melekat pada atasan-lini. Seperti halnya dengan cak Buat, kompromi pertama yang bisa dilakukan, apabila bisnis memerlukan, adalah mereduksi standar SHE yang telah disepakati. Cak Buat tidak hanya ugal-ugalan dan brangasan, tetapi juga telah melakukan kesalahan berpikir yang fundamental seperti yang juga masih kita lakukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar