Selasa, 27 April 2010

Down Syndrome : Semua Manusia Istimewa

Sudah lama tak berjumpa, membuat pertemuan tak sengaja saya dengan Sunarto, Ning isterinya dan Karunia anaknya di suatu pusat perbelanjaan menjadi sangat gayeng. Narto, teman kuliah yang sudah hampir 30 tahun tak berjumpa. Sementara Ning, adik kelas kami pada waktu itu, tetap gampang ditandai sebagai bunga kampus tahun 70 an. Luput dari perhatian kami karena asyik ngobrol, Karunia sibuk mengambil foto dari segala sisi. Sampai akhirnya dia menegur dengan kalimat yang nyaris tak jelas. "Halo om, apa kabar?". Saya kaget dan baru menyadari bahwa Karunia lupa disapa. Teringat kemudian bahwa Karunia adalah penyandang Down Syndrome, Mongoloid, yang mempunyai keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Mukanya bulat, kepala kecil (macroglossia), kulit pucat, mata sipit dengan lipatan (epicanthal folds), dan hidung datar melebar. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka bertiga, Karunia memisahkan diri, untuk bisa tetap jepret sana-sini mengambil foto disekeliling kami. Narto lebih lanjut bercerita dengan bangga, bahwa Karunia sudah menjadi fotografer profesional dan tak jarang dipanggil teman dan kerabat, untuk mengabadikan perhelatan yang mereka gelar. "Karunia sudah menjadi juru foto bayaran, bukan hanya karena kasihan atau daripada nganggur". Begitu Narto meneruskan ceritanya. Sampai umur 18 tahun, Karunia masih sangat terbatas kemampuannya. Lulus Sekolah Dasar Luar Biasa, anak perempuan satu-satunya itu divonis tidak dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dia nyaris tak berbuat apapun, sampai hari ulang tahun ke 18nya tiba. Iseng-iseng, Narto menghadiahkan kamera saku digital yang lagi in. Mula-mula dia hanya mencoba sebisanya. Tapi lama-lama, Karunia sangat menggemari "profesi"nya yang baru. Hasil jepretannya cukup bagus, bahkan ketika dikonsultasikan kepada ahli fotografi, foto-foto jepretan Karunia dinilai mempunyai nilai artistik dan teknik yang tinggi. Mulai bangun tidur sampai tidur kembali, kamera saku tak pernah lepas dari genggamannya, dan setiap hari dia menghasilkan puluhan atau ratusan foto yang disimpan dengan apik di lap top ibunya. Semuanya dilakukan sendiri. Sekarang dia telah menjadi fotografer professional, bayaran, dengan hasil jepretan yang memuaskan. Kameranyapun sudah berganti dengan yang lebih canggih, dengan teknologi dan beberapa asesoris yang rumit. Semuanya hasil jerih payah sendiri. Seorang gadis penyandang Down Syndrome yang selama 18 tahun tidak mampu berbuat apa-apa, helpless, menjadi seorang fotografer profesional yang dibutuhkan banyak orang.

Serupa dengan kisah Karunia (nama yang sengaja diberikan Narto dan Ning, setelah mereka tahu bahwa puteri pertamanya menyandang Down Syndrome, "agar selalu ingat bahwa itu adalah karunia dari Allah", katanya), saya ingat acara Kick's Andy beberapa minggu lalu. Seorang gadis dari Solo, Stephani Handoyo, yang juga penyandang Down Syndrome, berhasil menyabet medali emas untuk kejuaraan renang gaya dada 100 meter, di Special Olympic Singapore. Stephani berhasil mengalahkan saingannya dari seluruh dunia dan memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya saat dia dikalungi medali. Prestasi Stephani tidak hanya itu, dia juga ahli menarikan jari jemarinya diatas tuts piano, sambil mendendangkan lagu-lagu kesukaannya. Ibu Handoyo, bunda Stephani, terlihat bahagia dan bangga ketika mendapat compliment yang disebut oleh Andy Noya sebagai kontributor utama sampai Stephani bisa menjadi seperti ini.

Ada Karunia dan Stephani dari Indonesia. Ada Hee Ah Lee, dari Korea Selatan, yang bahkan disamping Down Syndrome juga menyandang Lobster Claw Syndrome, seseorang yang hanya mempunyai 2 jari pada setiap tangannya, seperti capit udang, tanpa telapak tangan. Ah Lee adalah seorang pianis kelas dunia yang mampu memainkan Piano Concerto 21, karya Mozart yang dikenal sangat sulit dan rumit dengan nyaris sempurna. Seorang pianis handal dengan hanya total 4 jari di tangannya. Dia mendapat banyak penghargaan atas kehebatannya bermain piano dan membawanya keliling dunia, termasuk bermain bersama pianis ternama Richard Clayderman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat.

Ada banyak lagi cerita kesuksesan dan prestasi dari mereka yang semula dianggap tak berdaya. Orang sakit, orang jompo, orang dengan kebutuhan khusus (istilah yang diberikan untuk mengganti "penyandang cacat", yang berkonotasi negatif), orang dengan IQ rendah, orang tak berbakat, kemudian terlihat mampu mengerjakan sesuatu yang tadinya tidak terkirakan oleh orang yang merasa dirinya normal. Anak yang kadung mendapat stigma negatif seperti bodoh, nakal, suka melawan, keluar pakem, tiba-tiba nyolong petek (bahasa Jawa, artinya : mengukir prestasi istimewa yang tidak diduga sebelumnya) menjadi orang hebat dan dikagumi masyarakat. Bawahan yang bertahun-tahun dicap malas, tidak berprestasi, dead wood, kemudian menemukan jati dirinya di bidang yang sama sekali berbeda dan menimbulkan decak kagum. Masih tentang cerita yang senada, adalah narasi dari foto diatas, yang berhasil dijepret seorang kawan di bandara Auckland, New Zealand. Seorang ibu manula, yang mengaku berumur 80 tahun, masih bersedia mengorbankan dirinya sebagai petugas informasi di bandara yang setiap hari dipenuhi penumpang. Ketika didekati, ternyata sang ibu mengenakan pin dengan tulisan "volunteer". Yah, ibu itu bertugas tanpa dibayar. Rela duduk dan menanti penumpang yang membutuhkan informasi tentang jadwal penerbangan, tata letak bandara dan informasi lainnya, sepanjang hari, sekali lagi for free. Bagaimana kita melihat itu sebagai suatu kejadian yang aneh? Pelajaran apa yang bisa ditarik dari semua fenomena sosial itu?

Margaret W. Matlin, Distinguished Teaching Psychology Professor di State University of New York at Ganeseo (1999) menulis dalam bukunya, tentang 3 tema utama untuk melihat manusia dengan kacamata ilmu jiwa. Pertama adalah bahwa manusia adalah makhluk hidup yang sangat kompeten. Tema kedua adalah manusia sangat berbeda, dari yang satu ke lainnya. Tema terakhir adalah proses psikologis sangat kompleks. Karunia, Stephani dan Ah Lee mengkonfirmasi tema-tema Matlin diatas. Semua manusia adalah sangat kompeten, tak peduli apakah dia memerlukan kebutuhan khusus, nenek jompo atau bawahan yang sudah terlanjur dicap dead wood. Yang sulit adalah bagaimana orang tua, atasan, sahabat, keluarga bisa menemukan kompetensi spesifik yang ada dalam diri seseorang. Konon, sebuah penelitian menyimpulkan bahwa hanya kurang dari 5% dari manusia Indonesia yang berhasil mengeluarkan kompetensi spesifik yang dimilikinya secara optimal. Menemukan kompetensi spesifik atau bakat seseorang memang sulit, seperti yang dikatakan Matlin pada pernyataan tema ke 3 diatas. Sesuatu yang hanya bisa dideteksi dengan kesabaran orang tua atau atasan dalam melihat anak atau anak buahnya dengan hati yang tulus. Kalau anak-anak penyandang Down Syndrome dan nenek manula terbukti bisa mengukir prestasi hebat, bagaimana manusia-manusia yang disebut "normal", yang saat ini banyak berada disekitar anda? Sekali lagi, kuncinya adalah mengamati dengan sabar dan melihat dengan saksama, menggunakan mata hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar