Serupa dengan kisah Karunia (nama yang sengaja diberikan Narto dan Ning, setelah mereka tahu bahwa puteri pertamanya menyandang Down Syndrome, "agar selalu ingat bahwa itu adalah karunia dari Allah", katanya), saya ingat acara Kick's Andy beberapa minggu lalu. Seorang gadis dari Solo, Stephani Handoyo, yang juga penyandang Down Syndrome, berhasil menyabet medali emas untuk kejuaraan renang gaya dada 100 meter, di Special Olympic Singapore. Stephani berhasil mengalahkan saingannya dari seluruh dunia dan memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya saat dia dikalungi medali. Prestasi Stephani tidak hanya itu, dia juga ahli menarikan jari jemarinya diatas tuts piano, sambil mendendangkan lagu-lagu kesukaannya. Ibu Handoyo, bunda Stephani, terlihat bahagia dan bangga ketika mendapat compliment yang disebut oleh Andy Noya sebagai kontributor utama sampai Stephani bisa menjadi seperti ini.
Ada Karunia dan Stephani dari Indonesia. Ada Hee Ah Lee, dari Korea Selatan, yang bahkan disamping Down Syndrome juga menyandang Lobster Claw Syndrome, seseorang yang hanya mempunyai 2 jari pada setiap tangannya, seperti capit udang, tanpa telapak tangan. Ah Lee adalah seorang pianis kelas dunia yang mampu memainkan Piano Concerto 21, karya Mozart yang dikenal sangat sulit dan rumit dengan nyaris sempurna. Seorang pianis handal dengan hanya total 4 jari di tangannya. Dia mendapat banyak penghargaan atas kehebatannya bermain piano dan membawanya keliling dunia, termasuk bermain bersama pianis ternama Richard Clayderman di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat.
Ada banyak lagi cerita kesuksesan dan prestasi dari mereka yang semula dianggap tak berdaya. Orang sakit, orang jompo, orang dengan kebutuhan khusus (istilah yang diberikan untuk mengganti "penyandang cacat", yang berkonotasi negatif), orang dengan IQ rendah, orang tak berbakat, kemudian terlihat mampu mengerjakan sesuatu yang tadinya tidak terkirakan oleh orang yang merasa dirinya normal. Anak yang kadung mendapat stigma negatif seperti bodoh, nakal, suka melawan, keluar pakem, tiba-tiba nyolong petek (bahasa Jawa, artinya : mengukir prestasi istimewa yang tidak diduga sebelumnya) menjadi orang hebat dan dikagumi masyarakat. Bawahan yang bertahun-tahun dicap malas, tidak berprestasi, dead wood, kemudian menemukan jati dirinya di bidang yang sama sekali berbeda dan menimbulkan decak kagum. Masih tentang cerita yang senada, adalah narasi dari foto diatas, yang berhasil dijepret seorang kawan di bandara Auckland, New Zealand. Seorang ibu manula, yang mengaku berumur 80 tahun, masih bersedia mengorbankan dirinya sebagai petugas informasi di bandara yang setiap hari dipenuhi penumpang. Ketika didekati, ternyata sang ibu mengenakan pin dengan tulisan "volunteer". Yah, ibu itu bertugas tanpa dibayar. Rela duduk dan menanti penumpang yang membutuhkan informasi tentang jadwal penerbangan, tata letak bandara dan informasi lainnya, sepanjang hari, sekali lagi for free. Bagaimana kita melihat itu sebagai suatu kejadian yang aneh? Pelajaran apa yang bisa ditarik dari semua fenomena sosial itu?
Margaret W. Matlin, Distinguished Teaching Psychology Professor di State University of New York at Ganeseo (1999) menulis dalam bukunya, tentang 3 tema utama untuk melihat manusia dengan kacamata ilmu jiwa. Pertama adalah bahwa manusia adalah makhluk hidup yang sangat kompeten. Tema kedua adalah manusia sangat berbeda, dari yang satu ke lainnya. Tema terakhir adalah proses psikologis sangat kompleks. Karunia, Stephani dan Ah Lee mengkonfirmasi tema-tema Matlin diatas. Semua manusia adalah sangat kompeten, tak peduli apakah dia memerlukan kebutuhan khusus, nenek jompo atau bawahan yang sudah terlanjur dicap dead wood. Yang sulit adalah bagaimana orang tua, atasan, sahabat, keluarga bisa menemukan kompetensi spesifik yang ada dalam diri seseorang. Konon, sebuah penelitian menyimpulkan bahwa hanya kurang dari 5% dari manusia Indonesia yang berhasil mengeluarkan kompetensi spesifik yang dimilikinya secara optimal. Menemukan kompetensi spesifik atau bakat seseorang memang sulit, seperti yang dikatakan Matlin pada pernyataan tema ke 3 diatas. Sesuatu yang hanya bisa dideteksi dengan kesabaran orang tua atau atasan dalam melihat anak atau anak buahnya dengan hati yang tulus. Kalau anak-anak penyandang Down Syndrome dan nenek manula terbukti bisa mengukir prestasi hebat, bagaimana manusia-manusia yang disebut "normal", yang saat ini banyak berada disekitar anda? Sekali lagi, kuncinya adalah mengamati dengan sabar dan melihat dengan saksama, menggunakan mata hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar