Selasa, 27 April 2010

Komunikasi Dan Relasi

Bang Kekeng adalah tetangga saya yang berprofesi sebagai tukang pijat yang handal. Setiap hari dia menerima tak kurang dari 5 panggilan untuk memijat, bahkan sampai ke kampung tetangga. Keahlian memijat, dia dapat dari kakeknya yang menularkan secara turun temurun, dan sudah kondang kawenang-wenang di seantero daerah kami, pinggir barat Jakarta. Karena dia seorang tuna rungu dan wicara, maka keahliannya memijat sering terkendala dalam hal berkomunikasi verbal dengan para pelanggannya. Tidak hanya itu, para tetangga selalu bermasalah bila dia datang saat kami ngrumpi di pos ronda atau warung kopi di kampung kami. Bila dia mulai nimbrung ngobrol, maka rusaklah suasana yang semula gayeng tanpa hambatan. Diskusi yang semula lancar dengan bahasa verbal yang mengalir spontan, dan tak jarang ditimpali dengan tertawa lepas tanpa kendali, terkendala karena kami harus melayani bang Kekeng berbicara melalui bahasa isyaratnya. Lain di pos ronda, lain di rumah. Saya pernah mengamati bang Kekeng berkomunikasi dengan isteri dan anak-anaknya di rumah. Pembicaraan berlangsung normal dan lancar, meskipun masing-masing menggunakan bahasanya sendiri-sendiri. Bang Kekeng menggunakan bahasa isyarat plus suara-suara sengau yang tak bisa dimengerti orang normal, isteri dan anak-anaknya menggunakan bahasa orang normal. Bahasa Indonesia khas Betawi. Komunikasi sangat efektif dan berlangsung nyaris tanpa hambatan. Fenomena ini membuat saya heran. Orang yang sama sekali tidak mempunyai communication skill, dapat melakukan komunikasi dengan normal, lancar dan efektif. Dimana rahasianya?


Tiba-tiba saya teringat akan ucapan Ibu Prof. Dr. Dewi Matindas Psi, dosen mata kuliah Komunikasi Organisasi di Fakultas Psikologi UI. Dia mengajarkan bahwa kualitas (ber)komunikasi, 75% ditentukan oleh "relasi" dan sisanya oleh "kemampuan berkomunikasi" (communication skill). 2 orang tidak dapat menjalin komunikasi yang efektif, bila mereka mempunyai relasi yang tidak baik, meskipun masing-masing mempunyai skill yang tinggi. Sebaliknya, meskipun dengan skill yang pas-pasan, orang akan tetap dapat menjalin komunikasi yang efektif asalkan relasinya cukup baik. Bang Kekeng adalah contohnya. Meskipun dia tuna rungu dan wicara, kualitas komunikasi yang dijalin dengan isteri dan anak-anaknya tetap terjaga. Sebaliknya, proses komunikasi bang Kekeng dengan para tetangganya selalu terkendala, karena memang relasi antara dia dengan kami tidak terjalin dengan baik. Para tetangga selalu mempunyai premature assumption yang muncul tiba-tiba, begitu bang Kekeng datang. Kami selalu menganggap bahwa kedatangannya di pos ronda bakalan menganggu obrolan yang sedang dilakukan. Itulah yang membuat komunikasi para tetangga dengan bang Kekeng langsung tertutup. Contoh lain yang sering terjadi adalah bila suami-isteri sedang berantem. Pada saat seperti itu, komunikasi langsung blocked. Apa saja yang diucapkan satu pihak ditangkap salah oleh pihak lain. Hati yang tertutup akan membuat komunikasi juga tertutup, dan akan lancar bila kedua hati sudah saling bertaut kembali.



Ada contoh lain yang membuktikan bahwa communication skill bukan merupakan syarat utama untuk menjalin komunikasi. Bila kita mempertemukan 2 anak kecil yang berbeda bahasa, maka komunikasi akan berjalan. Mereka akan tetap berkomunikasi dan bermain bersama meskipun masing-masing tidak bisa memahami bahasa kawannya. Masing-masing akan berbicara dengan bahasanya sendiri, yang saling tidak dimengerti. Tapi herannya, pembicaraan mereka terus menyambung. Mengapa demikian? Karena jiwa anak-anak adalah suci. Tanpa pretensi, tanpa premature assumption, tanpa curiga dan tidak merasa saling mengancam. Mereka mempunyai hati yang tulus dan jauh dari syak-wasangka. Itulah sebabnya, kualitas komunikasi mereka sangat tinggi dan efektif, meskipun masing-masing tidak mempunyai skill yang dibutuhkan untuk berkomunikasi.



Kalau memang benar hasil penelitian para ahli organisasi mengatakan bahwa 80% masalah organisasi disebabkan karena masalah komunikasi, karena ketidak efektifan komunikasi yang dijalin, karena negative communication atau bahkan sering karena contra productive communication, maka kita harus bercermin kepada hubungan yang dilakukan bang Kekeng dengan isteri dan anak-anaknya. Komunikasi harus dimulai dengan relasi, atau tepatnya relasi yang baik antara 2 atau lebih orang yang harus berkomunikasi. Kita harus mencontoh 2 anak kecil yang berbeda bahasa, tetapi selalu membawa hati yang tulus, bersih dan tanpa pretensi. Komunikasi organisasi memang harus dilandasi dengan prinsip team-focus dan bukan ego-focus. Artinya, harus dilakukan tanpa menempatkan kepentingan diri diatas kerangka komunikasi itu sendiri. Oleh sebab itu, kalau anda merasa bahwa komunikasi anda dengan seseorang atau sekelompok orang tidak efektif atau justru kontra-produktif, maka hal pertama yang anda harus lakukan adalah membuka hati anda dan membersihkannya dari pretensi dan syak-wasangka yang selama ini bermukim di hati anda. Setelah itu baru mulailah berkomunikasi.


Effective Communication always contains excellent humane relationship.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar