Selasa, 27 April 2010

My Name Is Khan: Diskriminasi Ada Dimana-mana

Sungguh mati, semula saya tidak tahu bahwa mayoritas nama marga Khan di India, beragama Islam. Saya mengenal beberapa tokoh dunia dengan nama akhiran Khan, seperti Agha Khan dan Ayub Khan, tetapi tidak pernah terpikir apa agama mereka. Saya baru ngeh ketika nonton film yang sedang top box office di Jakarta, yang bercerita tentang seorang penderita Asperger Syndrome, asal Borivali, Mumbai, India, bernama Rizvan Khan. Dan dari sanalah alur cerita film ini dimulai, yaitu diskriminasi.

My Name is Khan adalah film mengenai seorang yang berperangai aneh, karena dia menderita sindroma sejenis autis dan terdiskriminasi karena agamanya. Dan diskriminasi selalu identik dengan ketidak-adilan. Dan ketidak adilan dilarang agama apapun. Rizvan yang mengikuti adiknya yang sudah sukses karena berniaga setelah hijrah ke San Francisco, pertama-tama dihadang oleh petugas satpam bandara San Francisco yang mencurigainya. Kembali karena namanya bermarga Khan. 3 jam dia diperiksa dan ditanya sana-sini hanya karena petugas imigrasi tidak yakin akan niat baiknya masuk ke Amerika. Mungkin petugas imigrasi bandara terkecoh akan keanehan sikap Khan yang memang penderita Asperger, tetapi alasan etnis dan agama nampak lebih kental mendominasinya. Singkat kata, Khan akhirnya bisa masuk ke Amerika dan bertemu adiknya. Lebih lanjut, dan disinilah cerita itu mulai kelihatan gregetnya, ketika Khan menikah dengan seorang janda cantik, juga keturunan India, yang serunya beragama Hindu. Mandira mempunyai anak menjelang remaja, yang ganteng, pintar, aktif, kritis dan banyak teman, dan karena ayah tirinya bernama Khan, dia menjadi Sameer bermarga Khan. Sameer yang semula mempunyai banyak teman bermain kemudian dimusuhi dan akhirnya dibunuh, hanya karena dia bermarga Khan, meskipun para pembunuh tahu persis bahwa Sameer beragama Hindu.


Disitulah hebatnya film ini mulai mengirimkan pesan. Diskriminasi ternyata binatang dengan banyak variabel. Karena kebencian warga Amerika yang memuncak akibat peristiwa 9-11, mereka mencederai bahkan membunuh Sameer Khan, meskipun dia tetap Hindu. Film ini dengan sangat halus dan implisit menceritakan bahwa diskriminasi bisa menjadi pisau bermata banyak. Korban diskriminatif mulai mengenai mereka yang beragama Islam, terus menjalar ke manusia bernama Khan, pemeluk Hindu, dan juga kulit berwarna lainnya. Diskriminasi membelit tanpa bisa dikontrol dan diprediksi larinya. Bahkan orang Amerika pun diceritakan dalam film itu juga terkena diskriminasi. Semua orang Amerika dicap sebagai binatang kapitalis, antek Yahudi bahkan Zionis dan di gebyah-uyah bernaluri penjajah. Diselipkan dalam film itu, adegan bagaimana menara kembar WTC diserang oleh 2 pesawat kamikaze yang mengakibatkan ribuan warga Amerika dan non-Amerika, beragama tertentu atau tidak beragama, berkulit putih atau berwarna, terpanggang kaku. Diskriminasi memang menjadi abstrak, bahkan absurb, tak jelas, tak berwadag, tak tahu lagi kemana arah moncong senjata kebencian ditembakkan. Ia bisa mengenai siapa saja yang hidup di alam ini, menghancurkan peradaban, meniadakan kemanusiaan, tanpa pola, dan tentu saja meluluh lantakkan keadilan. Itulah diskriminasi.


Meneruskan cerita tentang My Name is Khan, ia juga menggambarkan bagaimana kaum miskin di daerah Georgia, Amerika, yang mayoritas dihuni oleh kulit berwarna, terdiskriminasi oleh lajunya pembangunan Amerika dan kena getahnya dalam bentuk bencana alam. Mereka menderita karena banjir bandang dan dikesankan sangat lambat di rescue oleh pemerintah Amerika. Rizvan Khan dan Mandira Khan, suami isteri dengan identitas sangat baur digambarkan ikut menolong korban tanpa kenal lelah, tanpa pamrih. Kembali, diskriminasi tak menggambarkan dengan jelas siapa korban dan siapa pelaku. Suatu saat dan untuk kasus tertentu, seseorang bisa menjadi korban diskriminasi, sementara pada waktu yang hampir bersamaan dia bisa menjadi pelaku diskriminasi untuk kasus yang lain.


Fishbein (1996), seorang Psikolog Sosial dari Amerika, mengatakan bahwa diskriminasi lahir karena adanya stereotype dan prejudice. Discrimination involves harmful actions against others because they belong to a particular group. We often see that stereotyped beliefs and prejudiced attitudes will reveal themselves in discriminatory behavior. Stereotype sering sulit dihilangkan dari persepsi kita. Kadang, bahkan dengan data yang sangat minimal, orang dengan mudah menanamkan persepsi tentang suatu komunitas dengan cepat dan melekat. Dan ini sangat jauh dari rasional. Ketika seseorang menjadi korban penjambretan dan si penjahat, setelah tertangkap, ternyata berasal dari suku tertentu, maka dengan mudah ia mempersepsikan bahwa semua orang dengan suku itu merupakan tukang jambret. Prejudice atau prasangka-buruk menjadi menjadi sebab lain yang ikut memudahkan melahirkan diskriminasi. Ia lahir karena orang mempunyai negative premature assumption yang bahkan sudah berada dalam belakang kepalanya sebelum data apapun dia miliki.


Diskriminasi memang sangat merusak. Ia membuat korban menjadi menderita bahkan sering meminta nyawanya. Tak heran bahwa dimana-mana protes mengenai diskriminasi diteriakkan orang. Termasuk Rizvan Khan, yang harus lari-lari dari San Francisco ke Washington, untuk menemui Presiden Obama. Setelah berhasil, dari kejauhan Khan berteriak-teriak tanpa henti : "Mr President, my name is Khan, and I am not a terrorist……..My name is Khan, and I am not terrorist…..My name is …………". Jengah mendengar teriakan berulang-ulang dari Rizvan, akhirnya Obama menoleh dan memanggil Khan untuk mendekat. Dia memeluk Khan sambil mendengar derita Khan yang dijauhi isterinya, sementara anak tirinya, bernama Sameer dibunuh, karena bermarga Khan. Obama mendengar dan ikut empati dengan Razvan. Sayang dia tidak bisa menghidupkan kembali Sameer yang sudah dikubur beberapa hari yang lalu. "Mr President, my name is Khan……"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar