Selasa, 27 April 2010

Kopenhagen: Don't Give Up Your Hope!



Renungan Akhir Minggu kali ini akan saya ambil dari tulisan karya "Aryobimo Pandu and Team Environment MEPI", yang mengulas latar belakang Konferensi Perubahan Iklim XV, Kopenhagen. Ada pihak yang merasa puas dan ada yang kecewa. Apapun perasaan masyarakat dunia, yang paling penting adalah mempertanyakan terus menerus bagaimana diri kita sendiri bisa tetap optimis dan selalu berkontribusi untuk menyelamatkan bumi kita tercinta ini.


Kopenhagen: Don't Give Up Your Hope!


Pada tanggal 7-18 Desember 2009 lalu, berlangsung Conferences of the Parties (COP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark. Konferensi tersebut adalah pertemuan tahunan yang diadakan oleh The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk membahas isu perubahan iklim dunia. Beberapa kesepakatan yang melatar-belakangi pertemuan tersebut antara lain adalah Kyoto Protocol (1997), Bali Action Plan (2007) dan terakhir adalah Copenhagen Accord (2009).


Sebelum COP ke-15 tersebut dilaksanakan, Menteri Iklim dan Energi Denmark Connie Hedegaard, sebagai tuan rumah, begitu optimis dan penuh semangat mengatakan "Selamat datang di Kopenhagen. Kita akan berjuang bersama di COP15 dan kami percaya akan menghasilkan yang terbaik". Terlebih, konferensi tersebut akan dihadiri oleh para kepala negara yang sangat diharapkan bisa membantu menemukan solusi bagi masalah perubahan iklim yang makin mengancam, salah satunya Presiden AS Barrack Obama dan PM Australia Kevin Rudd. Seperti yang diketahui hingga saat ini, Amerika Serikat belum meratifikasi Kyoto Protocol sementara Australia yang demikian sulit untuk meratifikasi protocol tersebut, pada 2007 lalu bertepatan dengan COP ke-13 di Bali akhirnya bersedia meratifikasinya melalui PM Kevin Rudd. Indonesia sendiri memperlihatkan komitmen dan inisiatif yang tinggi dalam mengatasi masalah perubahan iklim dengan mencanangkan akan menurunkan emisinya sebesar 26% hingga tahun 2020, lepas bagaimana program pemerintah untuk melaksanakannya. Hal tersebut diharapkan menjadi pemicu bagi negara-negara lain untuk berbuat hal yang sama.


Apa yang terjadi kemudian dari COP ke-15 tersebut bisa disebut sangat mengecewakan. Hasil pertemuan yang disebut Copenhagen Accord dianggap "seinci dari kegagalan" karena tidak bersifat mengikat secara hukum (legally binding), namun hanya bersifat take note. Hasil yang bersifat take note adalah hasil yang dianggap paling lemah karena tidak cukup untuk menjawab tantangan global warming yang semakin nyata. Kegagalan tersebut adalah karena tidak ada target yang riil berupa nilai emisi yang disepakati untuk diturunkan sampai tahun 2020, melainkan hanya komitmen untuk menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak melampaui 2 derajat Celcius.


Mengapa begitu sulit untuk para pemimpin Negara untuk bersepakat mengenai nilai emisi yang harus diturunkan? Jawabannya adalah karena saat ini kebijakan mereka relatif hanya dibuat atas dasar kepentingan ekonomi, yang katanya, digunakan untuk mensejahterakan rakyat tanpa sama sekali memikirkan kepedulian akan kelestarian lingkungan. Mereka lupa bahwa manusia dalam kodratnya adalah juga merupakan bagian dari lingkungan. Alhasil, kegagalan COP ke-15 tersebut menyebabkan kebanyakan masyarakat dunia menjadi pesimis akan adanya solusi untuk mencegah bumi semakin panas. Logikanya, kalau di top level saja para pemimpin dunia tidak bisa berkomitmen, tindakan di level grass root hampi tidak ada gunanya.


Lantas, apakah keadaannya benar-benar sedemikian mengkhawatirkan sehingga tidak ada sedikitpun harapan agar keadaan berubah? Tentu saja tidak. Negara-negara di dunia akan ikut serta dalam COP tahunan yang terus dilakukan untuk melakukan perbaikan. Walaupun berjalan lambat, perbaikan tetap terjadi. Hanya dengan menunjukan langkah nyata serta komitmen yang tinggi untuk mulai menyusun kebijakan yang tidak sekedar mengatasnamakan kemakmuran manusia, kita dapat mengatasi masalah terbesar kita saat ini. Kalau para pemimpin gagal membuat kesepakatan dan tanpa keterikatan untuk menyelamatkan bumi ini, para umat yang jumlahnya milyardan harus mengambil posisi ini, dengan bersama-sama membuat keterikatan sendiri. Dalam diri kita masing-masing dan terus menerus dilakukan.


Dalai Lama suatu ketika pernah berkata "I find hope in the darkest of days, and focus in the brightest. I do not judge the universe". Kalau kita mengibaratkan saat ini adalah masa yang paling kelam, tetaplah berharap pada titik yang paling cerah karena tidak ada gunanya menyalahkan para pemimpin kita apalagi alam raya ini. Don't give up your hope!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar